Inspire | Human Stories

Nama Saya: Farwiza Farhan

Rabu, 01 Nov 2023 17:00 WIB
Nama Saya: Farwiza Farhan
Farwiza Farhan Foto: CXO Media
Jakarta -

Di bagian Barat Indonesia, tepatnya di Sumatera, beragam spesies hidup dalam keharmonisan di Kawasan Ekosistem Leuser   salah satu hutan hujan tertua dan terpenting di dunia. Hutan hujan seluas 2,6 juta hektar ini adalah tempat terakhir di dunia di mana orangutan, gajah, badak, dan harimau hidup berdampingan di ruang yang sama.

Di balik keberadaan ekosistem ini, ada jerih payah para penjaga hutan yang bergerilya untuk melindungi Leuser dari deforestasi dan tangan-tangan kotor pemburu satwa langka. Salah satu dari mereka adalah Farwiza Farhan, ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA). Pada tahun 2022, aktivis lingkungan kelahiran Aceh ini masuk ke dalam TIME 100 pada kategori Leaders. Profil dan kisah Farwiza ditulis oleh Jane Goodall sendiri, aktivis lingkungan terkemuka yang masuk ke dalam TIME 100 edisi 2019.

Bersama dengan masyarakat setempat, Farwiza melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan dan melindungi hutan yang dicintainya. Ditemui usai mengisi panel diskusi di Ubud Writers & Readers Festival 2023 pada Sabtu (21/10/23), Farwiza Farhan bercerita kepada CXO Media mengenai kesehariannya di Kawasan Ekosistem Leuser dan kecintaannya terhadap alam.

A day in the life of Farwiza Farhan itu seperti apa sih?

A day in the life of Farwiza Farhan tuh sebenarnya tergantung harinya. Most days, seperti kebanyakan orang normal, aku bangun pagi, kalau sempat aku olahraga dulu, terus ke kantor dan duduk di depan komputer sampai sekitar jam 5 sore. Malamnya, I hang out with family, with people that are close to me and then I rest, I sleep. Most of the time, quite normal.

Kalau aku sedang ke lapangan, sedang ke hutan, itu baru my day get more interesting. Aku akan bangun before sunrise, ngopi, sarapan, siap-siap, terus masuk ke hutan. Biasanya morning walk itu looking for birds and it's such an enjoyment for me untuk mendengarkan burung-burung bangun pagi di hutan terus mencoba menebak itu burung apa, mencoba spotting mereka di antara daun-daun. Jam 8 kita balik, have a bigger breakfast terus sekitar jam 9-10 kita balik lagi masuk ke hutan untuk orangutan viewing.

Terus pas jam makan siang kita balik and then we rest for a few hours. Sekitar jam 3, kita balik lagi masuk ke hutan untuk jalan-jalan lagi ketemu orangutan. Malamnya, biasanya aku balik lagi ke hutan untuk herping; melihat kodok, ular, cari hewan-hewan kecil yang aktif di malam hari. So a day in my office life and in the field is a world apart, but it support each other.

Menyenangkan nggak bekerja di alam?

Amat sangat menyenangkan, buatku itu adalah hal yang sangat rewarding. Bayangkan, aku itu anak daerah, aku lahir dan besar di Aceh. Masa kecilku dihabiskan dengan memanjat pohon, berenang di laut, main di selokan   karena selokannya dulu waktu aku masih kecil airnya jernih banget. Jadi sebagai anak kampung, alam itu sesuatu yang dekat. Setelah dewasa, setelah pindah ke kota besar [aku] baru menyadari bahwa untuk bisa punya akses ke alam begitu dekat itu sebuah privilege.

Mengapa akhirnya memutuskan untuk terjun ke konservasi lingkungan?

Jadi ceritanya dulu waktu aku kecil kan sering nonton BBC Planet Earth, terus aku tuh kayak ngerasa kayaknya seru banget kalau bisa menghabiskan banyak waktu di laut. Aku pertama kali jatuh cinta sama alam karena jatuh cinta sama laut, karena ingin dekat dengan terumbu karang, ikan, penyu, dan hewan-hewan laut. Terus dari situ pelan-pelan mengenal alam dengan lebih dekat dan mengenal bahwa kita ternyata perlu loh melakukan sesuatu untuk melindungi alam. Karena aku melihat juga terumbu karang banyak yang rusak, laut sekarang banyak sampah, banyak kebakaran hutan, jadi mulai merasa bahwa aku sebagai individu perlu berkontribusi untuk perlindungan alam.

Apa hal yang paling dicintai dari pekerjaan ini?

Yang paling aku cintai dari pekerjaanku adalah proses pembelajaran yang aku dapatkan. Sebagai anak yang kuliah di luar negeri, dengan GPA yang bagus, ada kesombongan seolah-olah kita paling tahu semua hal. Masyarakat di tingkat tapak punya sangat banyak pengetahuan yang kadang-kadang tidak kita akui validitasnya. Dalam proses aku bekerja di konservasi, aku belajar sangat banyak pengetahuan-pengetahuan yang mengakar di akar rumput, yang mengakar di masyarakat dan lekat dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Apa pelajaran paling berharga yang diberikan oleh alam?

Pelajaran paling berharga yang diberikan oleh alam adalah kenyataan bahwa setiap makhluk hidup, bahkan makhluk tidak hidup pun, itu berinteraksi menciptakan yang disebut web of life. Dan web of life ini adalah hal yang menyokong penghidupan kita. Kadang-kadang banyak dari kita yang tidak mengetahui, 'memang apa gunanya sih harimau buat saya?', 'apa gunanya badak atau gajah buat saya?' 'Saya gak peduli orangutan itu hidup atau mati'. Tapi nggak ada satupun dari kita yang bisa hidup tanpa air. Dari mana air itu datang? Air itu dimurnikan, dijernihkan, oleh ekosistem. Dan kalau kita bisa begitu sombong mengatakan bahwa kita tidak membutuhkan 1 spesies tertentu, kita lupa bahwa kita adalah bagian dari jejaring kehidupan.

Setelah masuk ke dalam daftar TIME 100 Next 2022, kamu mengatakan bahwa meskipun ada rasa senang dan terharu, tapi pencapaian ini adalah milik bersama. Bagaimana peran kerja-kerja kolektif dalam perlindungan hutan?

Perlindungan hutan itu terjadi dari tingkat kebijakan sampai tingkat di lapangan, dari sisi edukasi sampai sisi penguatan masyarakat, dan itu membutuhkan kita semua. Memang yang paling ingin aku tekankan adalah tidak ada satu pun dari kita yang bisa bekerja sendiri, yang bisa membawa perubahan sendiri. Ini semua bisa terjadi karena semua komponen, mulai dari pemerintah yang mendukung; korporasi yang, kalaupun mereka gak mau diajak kerjasama, bersedia untuk taat hukum; masyarakat yang kuat dan memperjuangkan perlindungan lahan dan hutan; para LSM yang saling membantu masyarakat kota yang ikut mengisi petisi; para donor yang ikut berkontribusi. Jadi upaya perlindungan hutan itu bukan upaya satu orang dan bukan tugas satu orang, itu adalah tugas kita semua.

Apakah setelah publikasi TIME 100 ada dampak yang dirasakan?

Tentu publikasi yang begitu besar pasti berdampak, biarpun dampaknya tidak selalu bisa aku pahami sepenuhnya atau bisa aku ungkapkan sepenuhnya, tapi 1 hal yang sangat aku syukuri, Kawasan Ekosistem Leuser itu jadi semakin dikenal banyak orang. Kenapa buatku itu penting, karena Kawasan Ekosistem Leuser adalah kawasan yang dekat di hati. Aku merasa kita semua memerlukan spesies tertentu atau ekosistem tertentu yang ingin kita perjuangkan, yang ingin kita lindungi, yang memang kita sayangi. Jadi misiku adalah membawa cinta terhadap Kawasan Ekosistem Leuser ke lebih banyak orang.

Apa permasalahan lingkungan paling genting yang sedang terjadi di Aceh?

Aceh itu, satu, dia dikenal sebagai daerah termiskin di Sumatera. Dua, dia juga memiliki tutupan hutan yang relatif lebih banyak. Yang menarik, di Aceh itu tahun 2007 setelah tsunami sempat dilakukan studi [untuk melihat] ada berapa banyak lagi hutan di Aceh yang bisa dikonversi tanpa konsekuensi lingkungan yang terlalu berat. Ternyata setelah pemetaan itu dilakukan, Aceh itu tanahnya sangat sensitif. Kalau hutannya dirusak, maka akan terjadi banjir dan longsor. Nah, saat ini bencana alam menjadi salah satu masalah lingkungan terbesar di Aceh, karena kerusakan hutan kemudian berdampak langsung kepada kerusakan penghidupan masyarakat.

Apa pandanganmu mengenai fenomena orang-orang yang memelihara satwa langka?

Sama seperti yang disampaikan Vandana Shiva tadi [dalam sesi diskusi] soal patriarki, soal kolonialisme, dan keinginan untuk memiliki segala sesuatu-seolah-olah segala sesuatu makhluk itu tidak bisa memiliki dirinya sendiri. Satwa-satwa langka seperti harimau, orangutan, gajah, itu seharusnya berada di alam. Dia punya hidupnya sendiri, dia punya range yang sangat luas. Bayangkan, 1 ekor harimau range-nya itu 100 kilometer persegi. Itu adalah teritori di mana dia mencari makan, dia mencari mates, dan dia berinteraksi [dengan] satu sama lain.

Kalau kita memilih memelihara satwa seperti harimau di rumah, berarti kita merampok dia dari kebebasannya. Sama seperti kita mencintai seseorang lalu kita masukan dia ke dalam sangkar emas, kita tidak membolehkan dia berinteraksi   itu adalah hal yang sangat tidak adil. Menurut aku orang yang mengatakan bahwa dia memelihara satwa [langka] karena cinta, itu dia sebenarnya tidak mengerti apa arti cinta.

Apa pesan kamu untuk anak muda yang ingin berjuang bagi lingkungan?

Pertama, buatlah circle yang sehat di antara lingkaran teman-temanmu. Karena bagaimanapun manusia itu adalah makhluk sosial. Kita tidak ingin menjadi orang yang aneh sendiri, kita ingin mendapatkan dukungan. Dan kalau dukungan itu nggak bisa didapatkan dari orang-orang terdekat, proses perjuangan itu menjadi lebih panjang dan lebih berat.

Kedua, mulai mendorong diskusi-diskusi dan percakapan-percakapan itu ke lingkaran sekitar kita   entah itu lingkaran pertemanan atau keluarga   dan membangun lingkaran yang mendukung perjuangan kita [sehingga bisa] menguatkan satu sama lain.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS