Inspire | Human Stories

Monumen Perjuangan Rawagede: Antara Sejarah Kelam dan Kehidupan

Kamis, 31 Aug 2023 18:00 WIB
Monumen Perjuangan Rawagede: Antara Sejarah Kelam dan Kehidupan
Foto: CXO Media
Jakarta -

Di antara Karawang dan Bekasi—tepatnya Desa Balongsari—terdapat monumen yang mengabadikan salah satu bab kelam dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Desa tersebut dulunya bernama Rawagede, yaitu tempat di mana Pembantaian Rawagede saat Agresi Militer Belanda 1 terjadi. Di tempat ini jugalah kini berdiri monumen yang mengabadikan tragedi dan korban-korban invasi tersebut, Monumen Perjuangan Rawagede.

Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda mengepung dan menggeledah Dusun Rawagede untuk mencari persenjataan dan melancarkan pembersihan terhadap pejuang Republik Indonesia yang masih gencar melakukan perlawanan terhadap Belanda. Salah satu target utamanya adalah Kapten Lukas Kustaryo, yang telah berkali-kali menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Setelah tidak mendapati senjata yang dicari, tentara Belanda kemudian memaksa penduduk Rawagede untuk keluar rumah untuk dijejerkan dan diinterogasi mengenai keberadaan para pejuang Republik Indonesia. Saat tidak ada anggota masyarakat yang membeberkan keberadaan para pejuang tersebut, pembantaian pun dimulai. Tanpa bisa melawan, tanpa pengadilan, dan tanpa pembelaan, 431 orang penduduk Rawagede tewas dieksekusi di tempat. Sejumlah 181 korban dari pembantaian tersebut kini bersemayam di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga yang terletak di belakang Monumen Perjuangan Rawagede.

Monumen berbentuk menyerupai piramid tersebut dihiasi oleh relief sejarah Indonesia di keempat sisi bagian luarnya, sedangkan bagian ruangan utama di atas tangga menaungi patung berwarna emasAdul dan Atung, kakak-beradik korban PembantaianRawagede yang tewas dalam rangkulan satu sama lain. Tubuh mereka sekarang bersemayam di pemakaman Taman Makam PahlawanSampurna Raga. Di lantai bawah, terdapat ruangan berisikan diorama ukuran penuh peristiwa kelam tersebut.

Patung Adul dan Atung di Monumen Perjuangan Rawagede, dengan puisi Chairil Anwar sebagai latarPatung Adul dan Atung di Monumen Perjuangan Rawagede, dengan puisi Chairil Anwar sebagai latar/ Foto: CXO Media

Kini, Monumen Perjuangan Rawagede kerap dipenuhi anak-anak yang gemar berkumpul di sana usai jam sekolah berakhir. Tersedianya wi-fi gratis jadi salah satu alasan seringnya mereka nongkrong di area tersebut, seringnya untuk bermain game bersama atau sekadar browsing. Keberadaan anak-anak setempat ini menjadikan suasana Monumen Perjuangan Rawagede menjadi "hidup", dengan suara gelak tawa dan obrolan yang melatari tempat ini. Di satu sudut, anak-anak terlihat saling berkejaran. Di sudut lain, terlihat orang tua yang mengajak anak-anaknya melihat potongan sejarah Indonesia. Terdapat kontras yang puitis antara monumen yang mengabadikan mereka yang masa mudanya terenggut berdekade-dekade lalu dengan anak-anak yang kini memenuhinya. Kemerdekaan yang kini dinikmati oleh kita semua, dibangun di atas perjuangan panjang dan korban yang tak terhitung.

Sayangnya, kondisi Monumen PerjuanganRawagede tidak terawat dengan baik. Terdapat bagian-bagian tembok yang sudah keropos di bagian ruangan utama yang menaungi patungAdul dan Atung. Informasi sejarah yang ditampilkan di ruangan tersebut pun hanya dicetak di kertas menguning denganlaminasi—ditempelkan dengan paku payung yang sudah berkarat di sekeliling tembok. Di ruangan lantai bawah, kedua sudut pintu masuk malah digunakan sebagai gudang untuk penyimpanan barang. Debu menyelimuti kaca yang mewadahi diorama ukuran penuh peristiwa PembantaianRawagede. Pencahayaan dan sirkulasi udara di ruangan tersebut pun kurang mumpuni.

Diorama ukuran penuh di lantai bawah Monumen Perjuangan RawagedeDiorama ukuran penuh di lantai bawah Monumen Perjuangan Rawagede/ Foto: CXO Media

Tersimpan mengumpulkan debu pada salah satu rak di lantai bawah Monumen Perjuangan Rawagede adalah buku berjudul De Weduwen van Rawagede: getuigen van de dekolonisatieoorlog (Janda-Janda Rawagede: Saksi Perang Dekolonialisasi) karya fotografer SuzanneLiem dari Belanda. Di dalamnya,Liem mendokumentasikan korban-korban yang ditinggal oleh keluarganya yang terbunuh saat Agresi Militer Belanda 1.

Buku De Weduwen van Rawagede: getuigen van de dekolonisatieoorlog karya fotografer Suzanne LiemBuku De Weduwen van Rawagede: getuigen van de dekolonisatieoorlog karya fotografer Suzanne Liem/ Foto: CXO Media

Pada satu sisi, kondisi dari monumen ini bisa dibilang cukup memprihatinkan. Bukankah seharusnya monumen yang mengabadikan sejarah seperti ini dirawat dengan lebih baik? Terlepas dari kondisi, bagaimana monumen ini menampilkan informasi pun rasanya masih kurang ideal. Namun pada sisi lain, suasana Monumen Perjuangan Rawagede yang vibrant menjadikannya berbeda dengan monumen atau museum sejenis. Monumen Perjuangan Rawagede terasa layaknya ruang publik yang hidup dengan berbagai interaksi dan aktivitas di dalamnya. Memang, pendanaan dan pemeliharaan bagi monumen seperti ini merupakan hal yang simpang siur. Perbedaan manajemen untuk tiap situs sejarah berbeda merupakan salah satu faktor yang melatarinya, namun alangkah baiknya apabila suasana hidup yang telah terbangun secara organik di Monumen Perjuangan Rawagede bisa dibangun lebih nyaman bagi semua yang mengunjunginya.

(alm/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS