Inspire | Human Stories

20 Oktober 1999: Gus Dur Dilantik Jadi Presiden Ke-4 Indonesia

Kamis, 20 Oct 2022 17:06 WIB
20 Oktober 1999: Gus Dur Dilantik Jadi Presiden Ke-4 Indonesia
Foto: Istimewa
Jakarta -

Tepat pada hari ini, tanggal 20 Oktober, 23 tahun yang lalu, KH Abdurrahman Wahid atau lebih sering disapa Gus Dur, dilantik sebagai Presiden Ke-4 Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Gus Dur merupakan presiden terpilih pertama di Era Demokrasi Indonesia, melalui proses Pemilihan Umum tahun 1999, yang mengusung asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL). Beliau menggantikan tongkat kepemimpinan BJ Habibie, yang menjabat sebagai Presiden pasca keruntuhan Soeharto dan Rezim Orde Baru.

Banyak orang yang tidak menyangka, kalau Gus Dur lah yang akhirnya menduduki kursi RI-1 pada saat itu. Salah satunya terlihat dari publikasi The Economist, media besar asal Inggris, yang merespon peristiwa bersejarah tersebut dengan terkejut, lewat edisi berjudul "Goddess, It's Gus Dur". Selain itu, dalam biografi Gus Dur yang tulis oleh Greg Barton, peristiwa bersejarah yang sulit terbayangkan ini juga dikisahkan secara dramatis.

Kendati demikian, Gus Dur sendiri tetap dicatat sebagai salah satu pemimpin Indonesia paling berpengaruh; dengan sejumlah kebijakan politik yang tegas dan berani, meski sedikit mengandung kontroversi. Sayangnya, Presiden dengan selera humor yang beyond ini harus menanggalkan jabatannya di tengah jalan, usai dimakzulkan DPR dan MPR pada sidang istimewa tanggal 23 Juli 2001.

Proses Dramatis Pemilihan Gus Dur

Setelah Soeharto tumbang dan digantikan BJ Habibie, masyarakat menuntut Pemilihan Umum tahun 1999 untuk dipercepat. Walhasil, pada tanggal 7 Juni 1999 silam, 48 Partai Politik di Indonesia bersaing pada kontestasi politik. Waktu itu, sejumlah Partai Politik keluar dengan koleksi suara yang dominan.

PDI-P memenangkan 33,7% suara; Golkar meraup 22,4% suara; dan PKB bentukan Gus Dur mengantongi 12,6% suara. Angka ini juga diikuti PPP dan PAN, yang memperoleh 10,7% suara dan 7,1% sisa suara. Menariknya, pada proses pemilihan Presiden-yang waktu itu masih dipilih langsung oleh MPR, nama Gus Dur yang tidak diunggulkan justru mencuat dan menguat ke permukaan.

Hal ini bermula dari urungnya BJ Habibie (Golkar) untuk maju ke bursa pencalonan Presiden, setelah pertanggungjawaban sang Teknokrat ditolak MPR. Kemudian, ketika nama Megawati santer digadang sebagai Calon Presiden, tercipta gejolak penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Akhirnya, melihat situasi yang rawan ini, sejumlah tokoh dan Partai Politik bergegas membentuk poros tengah, untuk menyokong Gus Dur di pencalonan Presiden. Hasilnya, Gus Dur yang berstatus 'underdog' keluar terpilih sebagai Presiden RI ke-4, dengan mengantongi 373 suara, mengungguli Megawati yang hanya mendapat 313 suara.

Dalam Biografi Gus Dur yang dituliskan Greg Barton, situasi ini berlangsung secara dramatis dengan bumbu keterkejutan. Sebab saat awal penghitungan, Megawati telak mengungguli sang Kyai. Namun, plot twist malah muncul di tengah proses penghitungan, ketika Gus Dur menyamai perolehan 250 suara milik Megawati. Puncaknya, pundi suara milik Gus Dur terus melesat hingga akhir, menjaraki 60 suara di atas Megawati.

Barton juga menuturkan, kalau peristiwa ini disambut hadirin di ruang sidang MPR sambil melantunkan shalawat Badar. Di samping itu, Megawati yang menyadari bahwa dirinya kalah, menghampiri Gus Dur secara perlahan, meletakan tangannya ke pundak Sang Pemimpin NU, lalu membubuhkan sebuah senyum simpul lengkap dengan mata yang sedikit berlinang.

Di tengah keriuhan yang terjadi, Gus Dur yang tidak lagi prima usai terkena serangan stroke setahun sebelumnya, justru terlihat tenang dan santai. Sementara sang istri, Sinta Nuriyah, dan putrinya, Yenny Wahid, berdiri di sisinya-dan Megawati, sambil menyimpan mimik muka yang tidak menyangka.

Kebijakan, Kontroversi, dan Humor

KH Abdurrahman Wahid melaksanakan tugasnya sebagai Presiden dengan cara yang sulit diperkirakan. Sedari awal kepemimpinannya, cucu dari KH Hasyim Asyari ini memang tak berhenti mengambil langkah yang sensasional sekaligus kontroversial. Seperti membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.

Menurutnya, dua kementerian peninggalan Orde Baru tersebut wajib diberantas. Beliau pun meyakini, bahwa Departemen Penerangan tak lebih dari alat kontrol media bentukan Soeharto, sementara Departemen Sosial, merupakan lumbung korupsi yang harus 'dibakar'. Pada salah satu wawancaranya dengan Andy F. Noya, Gus Dur menjelaskan keputusannya tersebut dengan perumpamaan yang ringan dan jenaka, "Lho, kalau 'tikus' sudah menguasai lumbung, ya, berarti lumbungnya harus dibakar."

Selain itu, kebijakan lain Presiden Gus Dur yang sarat kontroversi adalah kunjungan kerjanya ke banyak negara di dunia. Menurut catatan, Gus Dur telah mengunjungi sekitar 80 negara dalam tempo kepemimpinannya yang singkat. Beberapa pihak menuding kebiasaan Gus Dur ini cenderung merugikan rakyat; karena menghabiskan banyak dana, dan seperti abai pada kondisi dalam negeri yang sedang bergejolak.

Sebagai konteks, pandangan dunia terhadap kedaulatan RI di zaman Gus Dur memang sangat minim. Khususnya, karena terdapat sederet tragedi kelam seperti di bulan Mei 1998, peristiwa referendum Timor Timur, hingga kemunculan kelompok separatis di Aceh dan Papua. Namun begitu, lagi-lagi, Pria yang pernah belajar di Kairo dan Baghdad itu dapat menyangkal tuduhan dengan cerdik.

Pada salah satu wawancara televisi, ia menuturkan kalau nilai keutuhan bangsa Indonesia lebih mahal daripada budget 'plesirannya'. Pada akhirnya, Gus Dur memang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Terlihat dari hubungan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia yang kian hangat, seperti jalinan perkawanannya dengan banyak pemimpin negara lain. Seperti Raja Arab, Fidel Castro, hingga Presiden Paman Sam waktu itu, Bill Clinton. Uniknya, Gus Dur menjalin hubungan dengan memanfaatkan teknik humor andalannya.

Gus Dur sendiri telah membuktikan pernyataannya dengan sejumlah kebijakan yang humanis pada kasus Aceh dan Papua. Terlihat dari langkah mengurangi porsi keterlibatan militer, diikuti pendekatan dialog langsung dengan para pemimpin kelompok. Lucunya, dalam menanggapi Bendera Papua Merdeka, Gus Dur merampungkan masalah dengan mudah. Ia bilang, bendera 'Bintang Kejora' boleh saja berkibar, asal, jangan lebih tinggi dari Merah-Putih. Tak lama keadaan di Papua berangsur membaik dan Gus Dur berhasil lewat caranya yang tidak umum.

Berikutnya, Gus Dur juga dikenal sebagai Presiden yang peduli soal keberagaman. Seperti mengambil langkah suportif terhadap kaum minoritas lintas kalangan dan Agama, yang salah satunya tertuang pada penetapan hari raya Imlek sebagai tanggal merah. Ia juga mencabut TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang mengurusi paham komunisme di tanah air. Di masa kepemimpinannya pula, anak-anak sekolah merasakan libur full selama satu bulan di saat Ramadhan tiba.

Menjelang Akhir Kepemimpinan Gus Dur

Walaupun di satu sisi terkenal jenaka, Gus Dur juga bisa disebut galak. Sebab selama menjabat, Gus Dur juga terkenal rajin mengubah komposisi Kabinet karena sering memecat Menteri. Mulai dari Wiranto, Jusuf Kalla, Laksamana Sukardi, Yusril Ihza Mahendra, hingga SBY, pernah dicopot Gus Dur. Pada satu kesempatan, Beliau bahkan menyebut DPR layaknya sekelompok taman kanak-kanak.

Di tahun 2001, posisi Gus Dur mulai tersudut. Berkembang beberapa tuduhan liar terhadapnya, seperti skandal Buloggate dan Bruneigate-yang sampai saat ini tidak pernah terbuktikan. Di pertengahan tahun 2001, Gus Dur lantas mengumumkan sebuah maklumat berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Golkar, untuk mengatasi gejolak situasi di kalangan legislatif.

Kebijakan Gus Dur yang progresif ini tentu menjadi sasaran kritik. Apalagi, Gus Dur juga beberapa kali terlibat perseteruan dengan DPR. Pada akhirnya, Maklumat tersebut tidak mendapat dukungan kuat dan berujung pada pemakzulan di tanggal 23 Juli 2001, melalui Sidang Istimewa MPR yang diinisiasi oleh Amien Rais. Gus Dur dilengserkan, lalu digantikan oleh wakilnya, Megawati.

Pada kesempatan terbaru, Putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid membeberkan cerita mengenai pemakzulan ayahnya. Alissa mengisahkan, Gus Dur menganggap pemakzulan 23 Juli tersebut sebagai kekalahan politis dan inkonstitusional. Namun begitu, Gus Dur tetap menerimanya dengan lapang. Satu hal yang menarik, sewaktu 'dipaksa' keluar dari Istana, Gus Dur justru keluar dengan mimik santai sambil mengenakan pakaian sederhana bercelana pendek. Baginya, sikap tersebut demi mendinginkan situasi di kalangan pendukungnya, yang sulit menerima pelengseran politis Gus Dur.

Saat ini, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Ke-4 Indonesia tetap dikenal masyarakat sebagai Bapak Pluralisme. Ia juga dianggap sebagai Pemimpin yang humanis, demokratis, dan ramah dengan semua kalangan. Gus Dur meninggal pada 30 Desember tahun 2009. Di batu nisannya, tertulis, "Di sini beristirahat seorang pejuang kemanusiaan sejati," dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dan Tionghoa.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS