Era di mana keputusan makan bisa ditentukan oleh satu scroll di layar smartphone, Gen-Z tumbuh dalam budaya kuliner yang tidak lagi digerakkan oleh rasa lapar, tetapi oleh rekomendasi, rating, dan algoritma. Review makanan di media sosial bukan hanya hiburan, tetapi kompas penentu selera dan destinasi kuliner.
Fenomena ini memunculkan dinamika baru apakah kita masih benar-benar memilih makanan sendiri, atau sudah sepenuhnya disetir oleh apa yang sedang viral?
Ilustrasi vlogging/ Foto: iStock |
Makan Tak Sekadar Kenyang, Tapi Panduan Hidup
Generasi sebelumnya memilih makanan dengan logika sederhana yaitu dekat, murah, dan cocok di lidah. Tapi bagi Gen-Z kelompok yang paling terkoneksi secara digital proses memilih tempat makan hampir selalu dimulai dari satu tempat: layar ponsel.
Menurut laporan We Are Social 2024, sebanyak 88,1% Gen-Z Indonesia mengakses media sosial setiap hari, dan lebih dari 70% di antaranya mencari referensi makanan secara online sebelum memutuskan tempat makan. Media sosial kini menjadi katalog rasa yang memengaruhi apakah warung ramai atau sepi keesokan harinya. Bahkan survei Rakuten Insight 2024 menunjukkan 67% Gen-Z Indonesia mencoba restoran baru setelah melihat review di media sosial.
Kondisi ini menjadikan konten kuliner tidak lagi sekadar hiburan tetapi juga kompas budaya konsumsi. Video rekomendasi kopi goceng di pinggir jalan bisa membuat warung kecil banjir pesanan dalam hitungan jam. Sebaliknya, satu vlog yang menilai makanan "biasa saja" bisa menggugurkan selera ribuan orang yang bahkan belum pernah datang.
Di sinilah letak ironi baru kita sering mempercayai lidah orang lain sebelum mempercayai lidah kita sendiri. Tidak heran bila kini ada pola baru dalam konsumsi. Makan bukan lagi proses mencari kenyang, tetapi proses mencari legitimasi selera. Jika konten kreator bilang enak, maka kita percaya. Jika tidak viral, maka seolah tidak layak dicicip.
Dari FOMO ke Fast-Food Lifestyle
Algoritma media sosial tidak peduli kesehatan hanya peduli apa yang membuat orang menonton, menyukai, dan membagikan. Lagi, topik makanan yang paling mudah menarik perhatian-yang meleleh, crispy, over-cheese, pedas ekstrem, atau rumit secara gimmick. Akibatnya, muncul pola makan baru Gen-Z yang ditentukan oleh layar:
Lebih sering mencoba jajanan viral dibanding makanan bergizi. Data BPS 2023 menunjukkan belanja makanan siap saji di kota meningkat hampir 18% dalam tiga tahun terakhir, didorong kuat oleh kebiasaan makan di luar rumah dan delivery online. Konsumsi gula dan garam naik di kelompok usia muda.Kementerian Kesehatan mencatat peningkatan kasus obesitas muda 2,5 kali dalam 10 tahun terakhir, salah satunya dipicu gaya hidup cepat saji.
Efek FOMO membuat Gen-Z makan untuk pengalaman, bukan kebutuhan tubuh. Fenomena ini juga terlihat dalam riset YPulse 2024, menemukan bahwa 64% Gen-Z mengatakan mereka merasa "ketinggalan" jika tidak mencoba makanan viral yang dilihat online.
Konten review media sosial juga menghadirkan paradoks menarik. Banyak konten kreator yang mempromosikan pola hidup sehat, tetapi angka konsumsi jajanan viral tetap naik. Artinya, edukasi tentang makan sehat kalah cepat dibanding kecepatan spread konten. Kalau algoritma ikut menentukan apa yang kita makan, apakah kita masih membuat keputusan dengan sadar?
Ilustrasi rekomendasi makanan/ Foto: iStock |
Keraguan pada Rasa Lidah Sendiri
Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan inti. Apakah kita masih memilih makanan berdasarkan selera asli kita, atau berdasarkan rating dan komentar orang asing di internet? Banyak orang kini mendatangi restoran bukan benar- benar karena sedang ingin makan di sana, tetapi karena tempat tersebut sedang ramai dibicarakan di media sosial.
Pilihan kuliner seringkali dipengaruhi trend dan rasa takut ketinggalan momen, alih-alih kebutuhan atau preferensi pribadi. Begitu sampai di meja, makanan pun tidak langsung dicicipi, kamera menjadi "alat makan pertama". Hidangan harus difoto dari berbagai sudut sebelum sendok menyentuh piring. Sementara itu, standar penilaian pun bergeser.
Makanan terasa layak dipuji jika tampilannya instagramable, porsinya besar, penuh topping, dan sesuai estetika viral yang sedang mendominasi linimasa. Dengan kata lain, pengalaman makan tidak lagi murni tentang rasa, tetapi tentang bagaimana tampil di layar dan diterima oleh algoritma.
Gen-Z adalah generasi yang sangat sadar kesehatan. Dalam laporan McKinsey 2023, tiga dari empat Gen-Z global mengaku memprioritaskan kesehatan mental dan fisik lebih dari generasi lain. Tapi dalam praktik, pilihan makan hariannya sering tidak sejalan dengan aspirasi itu.
Makanan sehat tidak kalah eksis, tapi kalah spektakuler. Semangkuk salad jarang menang dari es krim 10 lapis dengan sirup melimpah. Nutrisi tidak bisa bersaing dengan views. Dan mungkin ini saatnya kita mengakui secara jujur: media sosial telah membuat makan bukan lagi upaya merawat badan, tetapi merawat eksistensi.
Ilustrasi makan/ Foto: iStock |
Review kuliner, rekomendasi makanan, dan food vlogging bukan musuh. Banyak UMKM terbantu, banyak bisnis kecil bertahan, dan banyak orang menemukan rasa baru yang memperkaya pengalaman kuliner. Makan kini semakin jarang menjadi keputusan yang murni datang dari keinginan pribadi.
Banyak orang memilih restoran karena tempat itu sudah ramai dibicarakan di media sosial dan dianggap sebagai destinasi "wajib coba". Setibanya di meja, makanan belum langsung disantap tetapi di foto terlebih dahulu mencari sudut terbaik dan plating yang fotogenik. Dalam pola ini, pengalaman makan berubah menjadi ritual digital, dimana validasi sosial justru lebih dominan dibanding kenikmatan itu sendiri.
Maka yang terancam hilang adalah hubungan personal kita dengan makanan yang seharusnya paling intuitif dan paling manusiawi. "Makanlah karena tubuh membutuhkan, bukan karena timeline menuntut."
Penulis: Deandra Fadillah
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi vlogging/ Foto: iStock
Ilustrasi rekomendasi makanan/ Foto: iStock
Ilustrasi makan/ Foto: iStock