Interest | Home

No Place Like: Suryakencana

Jumat, 26 May 2023 13:30 WIB
No Place Like: Suryakencana
Foto: Anastasya Lavenia - CXO Media
Jakarta -

Tak jauh dari Kebun Raya Bogor   sekitar 2 kilometer-berdiri sebuah gapura besar berwarna merah bertuliskan "Lawang Suryakencana". Gapura semacam ini, atau yang dalam bahasa mandarin disebut sebagai paifang, memang lazim ditemui di setiap pintu masuk kawasan pecinan.

Meski menyimpan sejarah diskriminasi pada era kolonialisme, tapi di zaman Indonesia modern, pecinan setidaknya populer karena dua hal: sebagai tempat wisata kuliner dan sebagai simbol keberagaman. Hal ini turut berlaku untuk Suryakencana; pecinan sekaligus sentra kuliner legendaris di Kota Hujan.

Jalan Surya Kencana atau Suryakencana berdiri sejak tahun 1808 sejak pembangunannya diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Daendels. Suryakencana adalah salah satu pecinan yang hadir akibat kebijakan kolonial untuk memisahkan masyarakat berdasarkan etnis mereka.

Oleh karena fungsinya sebagai sentra bisnis yang menggerakkan roda perekonomian daerah, pemerintah kolonial mengubah nama jalan ini menjadi Handelstraat pada 1905, yang secara harfiah berarti "Jalan Perniagaan". Lalu pada masa Orde Baru, pemerintah Bogor akhirnya menggantinya dengan "Jalan Surya Kencana".

Dibandingkan dengan kawasan lainnya yang mulai dipenuhi oleh cafe dan restoran modern, Suryakencana mungkin terlihat seperti sudut kota yang tua dan tak lagi gemilang. Bangunan-bangunannya sudah termakan usia, beberapa bahkan sudah tutup atau ditinggalkan dan tak terawat. Tapi, kawasan ini menawarkan ketentraman di tengah kemacetan Kota Bogor yang rutin diguyur hujan deras.

Masuk ke kawasan Suryakencana, kita akan disambut dengan pemandangan jalanan yang lebar, pedagang makanan di kiri dan kanan jalan, trotoar yang cukup layak untuk berjalan kaki, dan hiasan lampion yang bertengger manis dari tiang ke tiang. Sepanjang berjalan kaki di sini, aroma bermacam-macam makanan saling beradu; seperti aroma soto yang kaya rempah, martabak yang baru dipanggang, dan pisang tanduk yang baru saja digoreng.

Rupanya, apapun cuacanya, Suryakencana tetap akan penuh dengan kehidupan. Entah mengapa, tempat ini seperti dibuat khusus untuk Kota Bogor-sebagian besar makanan yang dijual di sini adalah hidangan berkuah yang pas disantap saat atau sehabis hujan. Bagi pengunjung yang tidak ingin makan makanan yang terlalu berat, mereka bisa mencicipi Bakso Kikil Pak Jaka.

Bakso ini tidak dijual di dalam kedai, melainkan hanya dengan gerobak kecil beserta beberapa kursi plastik yang dijejerkan di depan toko pakaian. Meski sederhana, tapi makanannya kaya akan rasa. Kuahnya bening tidak terlalu berminyak, baksonya kecil tapi dagingnya terasa, lalu potongan kikilnya besar dan empuk.

Namun kalau seporsi bakso belum cukup, pengunjung bisa bertandang ke Soto Kuning Pak Yusup yang legendaris. Hidangan yang mirip dengan Soto Betawi ini memiliki kuah santan berwarna kuning yang kental dan kaya akan rempah, lalu diisi dengan potongan daging dan jeroan sapi. Di sini pengunjung bisa memilih sendiri potongan daging dan jeroan untuk isi sotonya, semua jeroannya pun dimasak dengan baik sehingga tidak berbau sama sekali. Kuah santan yang gurih ditambah dengan perasan jeruk, sedikit sambal, dan taburan bawang goreng, adalah obat yang nikmat untuk cuaca Bogor yang sejuk.

Mungkin predikat Suryakencana sebagai perawat keberagaman di Kota Bogor memang benar adanya, sebab penjual dan pembeli dari beragam etnis dan agama tumpah ruah di sini. Kedai makanan non-halal seperti ngohiang dan nasi campur babi pun bisa bersebelahan dengan kedai makanan halal seperti soto mie, tanpa ada pengkotak-kotakan. Pada akhirnya, Suryakencana adalah bukti bahwa perbedaan tidak perlu menjadi penghalang untuk bisa menghidupi ruang yang sama. Di sini semuanya dipersatukan oleh kecintaan terhadap makanan dan rasa kepemilikan bersama terhadap kawasan tua yang menyimpan banyak sejarah.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS