Insight | General Knowledge

3 Tahun Kanjuruhan dan Luka Itu Masih Basah

Jumat, 03 Oct 2025 18:30 WIB
3 Tahun Kanjuruhan dan Luka Itu Masih Basah
Tragedi Kanjuruhan tiga tahun lalu. Foto: CNN Indonesia
Jakarta -

Kiwari seharusnya stadion adalah jawaban dari ruang bebas berekspresi para suporter sebagai aktualisasi diri. Kanjuruhan, misalnya, merupakan markas Singo Edan yang menawarkan hal itu - tempat arek-arek Malang melepas emosional- seketika berubah. Ia bukan lagi tempat aman dan ramah.

Titik nadir ini terjadi pada 3 tahun silam tepatnya 1 Oktober 2022, tempat tadinya Aremania bersorak kebahagiaan berubah menjadi gelap penuh sesak akibat gas air mata. Lantas, di mana lagi ruang aman untuk kita?

Kanjuruhan seketika berubah menjadi tempat yang traumatis dan mencekam, tak lagi sebagai tempat romantisme suporter dengan klub pada umumnya. Hal ini berkat tidak berpikir panjangnya aparat dalam melepas gas air mata. Bukti, pekerjaan rumah kita dalam berbagai aspek masih banyak.

Melihat tragedi ini tak perlu menjadi Aremania, cukup menjadi manusia untuk merasakan kesedihan yang dialami keluarga korban termasuk untuk pecinta sepak bola seperti saya. Dalam hal ini, keadilan harus segera direalisasikan untuk korban, sebagai bukti tanggung jawab pemerintah dan federasi agar kepahitan ini tak lagi terulang.

.Stadion Kanjuruhan/ Foto: Goal Indonesia

Kanjuruhan Rumah bagi Aremania

Menyaksikan Arema berlaga, terutama pada zaman Indonesia Super League (ISL), hal yang biasa saya lakukan di sore hari ketika pulang sekolah. Nama-nama seperti Arif Suyono, Pierre Njanka, hingga Esteban Vizcarra kerap menghiasi layar kaca. Atmosfer stadion Kanjuruhan seolah terasa hingga sofa rumah. Bagaimana dengan para Aremania di sana? Kimia tubuhnya pasti bercampur aduk di atas tribun: menggugah adrenalin hingga tangisan.

Kanjuruhan memang bukan cinta pertama Aremania, tetapi kepindahannya dari Stadion Gajayana memiliki rekaman indah: kemenangan menjanjikan 1-0 atas PSS Sleman dalam partai Liga Pertamina 2004 silam. Hal itu seolah membawa pesan: Kanjuruhan akan menjadi arena angker bagi musuh.

Dengan kapasitas 41.449 orang yang dimiliki Kanjuruhan, tak mengherankan stadion ini menjadi tempat menakutkan bagi klub lain. Dalam dekade 2009-2019, Arema menembus penonton terbanyak di tahun 2009-2010 dengan angka 512.876 ribu atau rata-rata 30.169,17 penonton setiap laganya. Menyalip tim-tim besar yang memiliki suporter militan seperti Persija dan Persib.

Kanjuruhan bukan lagi sekadar bangunan beton, melainkan titik kumpul suporter Aremania yang kuat secara budaya. Sehingga isi stadion tak pernah dibiarkan bergeming: mereka menyanyi dan menari    alih-alih menyemangati klub kesayangannya berlaga- justru melepaskan emosi.

Bagi Aremania tempat ini sudah menjadi relief sejarah dengan keberuntungan dan kemalangannya dalam mengarungi lautan sepak bola Tanah Air, tidak selalu menang, tetapi Aremania selalu hadir mendukung klub kesayangannya di atas tribun. Ini membuktikan kuatnya ikatan magis antara suporter dan klub, dalam hal ini stadion tempat sakral bagi para suporter.

.Malam saat tragedi Kanjuruhan terjadi/ Foto: CNN Indonesia

Malam Berubah Mencekam di Kanjuruhan

Malam itu mata tertuju pada Derby Jawa Timur: Arema FC vs Persebaya. Sebagai tuan rumah, Arema, tak ingin kehilangan poin, tetapi data pertandingan sebelumnya cukup mengkhawatirkan. Dugaan pun benar, Arema kalah di tanah sendiri membuat para suporter turun ke lapangan (pitch invader) dengan maksud menyemangati pemain akibat permainan buruknya.

Ekspresi suporter ini    sialnya    direspons dengan tindakan represif: tembakan gas air mata alih-alih meredam huru hara, malah semakin melebar ke wilayah yang aman: tribun selatan menjadi sasaran acak penembakan gas air mata.

Tidak ada yang kuat berada di kepulan gas air mata. Tawarannya hanya perih dan sesak. Kanjuruhan awalnya menjadi tempat kebahagiaan masyarakat, namun seketika berubah jadi mencekam: penuh sesak dan orang berdesak-desak untuk saling menyelamatkan diri. Jumlah korban pun bukan angka yang sedikit: 135 korban jiwa, peristiwa yang begitu menyayat hati.

Maksudnya, pada era modern kita masih disaksikan peristiwa ini. Satu korban jiwa pun sudah terlalu banyak. Ini merupakan patah hati terbesar saya dengan sepak bola, alasan tersebut juga yang membuat sampai hari ini saya berhenti menyaksikan liga lokal.

Hingga kini pertanyaan terus mengiang di kepala, "kok bisa gas air mata masuk stadion?" Yang mana hal ini jelas diatur FIFA dalam Pasal 19 tentang Pitchside stewards Huruf (b) pada FIFA Stadium Safety and Security Regulations yang menyatakan, "no firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used".

Artinya, senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan dilarang dibawa apalagi digunakan di dalam stadion. Ditambah gas air mata mengandung kimia yang mampu membuat mata mengalami iritasi sekaligus mempengaruhi sistem pernapasan. Lalu, "kok bisa gas air mata masuk stadion?"

Buruknya aparat dalam mengambil keputusan malam itu membuat Kanjuruhan bukan lagi sekadar stadion, ia menjelma jadi labirin ketakutan yang menelan asa. Di antara kepulan gas dan teriakan putus asa, waktu seolah melambat, meninggalkan bayangan yang terus menghantui hingga kini. Tragedi itu kini jadi cermin retak sepak bola kita termasuk aparat: indah di permukaan, rapuh di dalamnya.

.Keluarga masih terus menanti keadilan hingga hari ini./ Foto: Amnesty Indonesia

Keadilan yang Masih Samar

Tak ada yang lebih menyayat hati daripada kehilangan anak tercinta, apalagi ketika kepergiannya hanya untuk menonton klub kebanggaan - tak lebih dari itu. Tragedi Kanjuruhan memberikan pengalaman pahit kepada mereka termasuk saya sebagai penikmat sepak bola. Ini menjadi kalender hitam sekaligus 'rapot merah' bagi pemerintah dan federasi dalam mengelola suporter yang reaktif.

Bangunan stadion pun menjadi kambing hitam dalam tragedi ini hingga berujung pada keputusan merenovasi besar-besaran bangunan Stadion Kanjuruhan. Saat renovasi besar Stadion Kanjuruhan berlangsung, yang tak 'mereka' kira, tangisan dan raungan para orang tua korban masih tetap menggenang, keadilan itu tidak mendapatkan titik terang hingga saat ini.

Masyarakat sipil melalui Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak kepada Komnas HAM untuk menjadikan tragedi ini sebagai pelanggaran HAM berat.

Tragedi Kanjuruhan bukan akibat ulah suporter, kehilangan ratusan jiwa manusia ini dari tubuh aparat. Upaya agar tragedi ini tak terulang pun bukan mengubah bentuk stadion, tetapi juga membangun kesadaran aparat untuk tak mengulangi kesalahan yang sama. Selain bangunan yang direnovasi, tubuh aparat pun harus di-"renovasi" secara mental dan moral. Luka dari tragedi ini masih basah: 135 nyawa hilang dalam kabut gas air mata.

Membicarakan ulang tragedi ini adalah cara kita merawat ingatan atas kekerasan negara, sekaligus menjaga solidaritas sesama rakyat untuk terus menagih keadilan keluarga korban. Kini pertanyaannya, setelah renovasi fisik dan rentetan janji perubahan itu, apakah kita benar-benar siap menghadirkan sepak bola yang aman, ramah, dan manusiawi?

Atau tragedi ini hanya akan jadi catatan sejarah yang dibaca dengan getir tanpa ada perubahan nyata? Kita semua-suporter, federasi, pemerintah, hingga aparat-punya tanggung jawab kolektif untuk memastikan sepak bola tak lagi jadi arena kehilangan nyawa. Sebab nyawa manusia lebih dari sepak bola.

Tiga tahun berlalu dalam tragedi yang nahas itu, keadilan bagi mereka yang telah berpulang pun belum sampai pada titik terang sekalipun.

Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS