Banyak orang berlalu-lalang di mall, mencoba beberapa pakaian tanpa berbelanja, atau ngopi cantik hanya dengan satu cangkir latte. Fenomena ini banyak kita temui, dan bahkan ada istilah yang melabeli sikap tersebut dengan sebutan ROJALI.
Istilah ROJALI atau kepanjangannya Rombongan Jarang Beli dan ROHANA atau Rombongan Hanya Nanya, muncul dan menggambarkan perilaku masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Mungkin sikap tersebut tidak asing didengar, melihat sedari dulu kita sudah dihadapi dengan istilah 'Window Shopping'.
Istilah ini pun sangat digemari orang-orang terutama perempuan, dikarenakan Window Shopping memberikan sensasi kepuasan dan kegembiraan dalam menemukan sesuatu yang menyenangkan tanpa membelinya.
Menjadi kaum ROJALI dan ROHANA biasanya tidak dilakukan secara pribadi. Kegiatan ini dilakukan secara berkelompok, untuk mengeksplor sesuatu yang baru bersama. Hal tersebut merupakan interaksi yang menyenangkan untuk sekadar menghabiskan waktu bersama.
Di sisi lain, terkadang menjadi kaum ROJALI dan ROHANA bukanlah sesuatu yang direncanakan, ada sesuatu yang memicu kegiatan tersebut. Momen bersantai dan sekadar berjalan melewati berbagai toko di mall, ada kalanya berbagai etalase mencuri pandangan.
Tanpa sadar kita pun masuk ke dalam toko tersebut dan mulai melihat-lihat. Hanya dengan melihat hal-hal baru, memegang, merasakannya, tanpa memilikinya, dapat memicu kepuasan dalam diri.
Ilustrasi belanja online./ Foto: Lazada |
Dampak Ekonomi: Saat Transaksi Berpindah ke Online
ROJALI dan ROHANA terjadi bukan hanya di mall dan toko-toko lokal, perilaku ini pun terjadi pada shopping apps yang mana masyarakat secara pribadi melihat-lihat berbagai toko, mengisi keranjang mereka, tapi pergi begitu saja tanpa membeli apapun. Fenomena ini meningkat pasca-pandemi ketika masyarakat menemukan kesenangan dalam mengeksplorasi sesuatu yang baru tanpa keharusan untuk pergi ke tempat dan membelinya secara langsung.
Melansir dari The Financial Express, terdapat teori psikologi dibalik kegiatan ini. Kesenangan seseorang terbentuk lebih tinggi dari mengeksplorasi dibandingkan dengan benar-benar membeli sesuatu. Hal ini dapat kita sandingkan dengan eksplorasi yang berbeda, contohnya di tempat publik atau museum.
Kita hanya berjalan-jalan dan bercerita mengenai apa yang kita lihat bersama teman-teman. Berbeda halnya dengan window shopping dimana kita memiliki kemungkinan untuk mendapatkan barang tersebut saat itu juga atau di lain waktu.
Menjadi kaum ROJALI dan ROHANA merupakan jalan untuk mengeksporasi apa yang kita suka dan tidak tanpa khawatir akan kekecewaan saat telah membelinya. Dari hal inilah kita dapat melihat, ada suatu batasan jelas terhadap apa yang kita inginkan dan apa yang mampu dibeli.
Dalam perilaku masyarakat yang kita lihat, terdapat perubahan pola berbelanja yang cukup signifikan, dimana masyarakat menjadikan mall sebagai sarana untuk window shopping dan eksplorasi sebelum membeli barang tersebut. Pada faktanya, jika suatu barang tersebut akan dibeli, masyarakat akan beralih ke pembelian online setelah merasa cukup untuk merasakan barangnya secara nyata.
Perubahan ini pun tentunya menggeser arus keuangan, dengan kuantitas masyarakat yang berbelanja secara langsung semakin berkurang. Hal ini memaksa Mall dan brand beradaptasi dengan cara baru untuk menjangkau konsumen dan tetap mempertahankan ekonomi.
Ilustrasi mall./ Foto: Pexels |
The Amazon Effect
Mall dan brand pun kian dituntut untuk memberikan sesuatu yang lebih, baik secara langsung maupun hadir secara online. Melihat perilaku masyarakat yang kian berkurangnya pembelanjaan secara langsung dan meningkatnya pembelanjaan secara online, dapat disimpulkan terdapat Amazon Effect dibalik semua perilaku ini.
Melansir dari Ecommerce Germany, Amazon Effect merupakan sebuah perubahan masif pada perilaku masyarakat yakni mereka mulai menuntut kualitas berbelanja yang lebih, dapat merasakan dan melihat barang secara langsung, mendapatkan respon yang cepat, dan pengalaman berbelanja yang efektif pada pembelanjaan online. Hal-hal tersebut menjadi tuntutan lebih untuk mall, di antara pembelanjaan secara online yang mengalir dengan derasnya.
Pengalaman berbelanja secara online pun terus menjadi solusi bagi masyarakat dan menjadi fokus bagi para pemilik brand. Harga yang kompetitif, pilihan yang melimpah, serta kenyamanan dalam berbelanja tanpa keluar rumah menjadi pilihan bagi masyarakat dan brand untuk terus memutar ekonomi ini.
Lantas bagaimana dengan pengalaman yang ditawarkan oleh mall?
Mall sebagai Social Space
Mall bukan lagi sekadar pusat perbelanjaan, melihat dari maraknya ROJALI dan ROHANA yang terus meningkat. Tapi dapat dipastikan bahwa mall, merupakan sebuah tempat yang akan tetap hidup, menjadi ruang berkumpul dan bagian dari gaya hidup masyarakat.
Kini mall dan brand sudah melalui berbagai perkembangan, menghadirkan berbagai pengalaman dan bukan sekadar memasarkan produk. Ini bisa dilihat dari bermunculannya social space yang ditawarkan untuk komunitas dan kegiatan-kegiatan baru.
Brand pun semakin menawarkan pengalaman baru dengan etalase unik dan menarik, alur belanja, dan interaksi yang membangun. Mall dan brand sendiri pun kembali mendapatkan keemasannya dengan membangun relevansinya, berfokus pada interaksi dan experimental shopping sambil memperkuat eksistensi online.
Nah, apakah kamu adalah salah satu ROJALI atau ROHANA?
Penulis: Anastasia Nadila
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online*
Ilustrasi belanja online./ Foto: Lazada
Ilustrasi mall./ Foto: Pexels