Sebagai negara demokrasi, Indonesia membuka peluang seluas-luasnya untuk warga negaranya berkompetisi dalam politik, terutama di dalam pemilihan umum (pemilu). Meskipun kesempatan terbuka sangat lebar, tetapi 'biaya masuk' atau cost of politics yang harus dibayar tidaklah murah.
Sehingga hanya orang-orang 'tertentu' saja yang mampu bertarung dalam kontestasi politik. Lantas, berapa biaya yang harus dibayar untuk bisa menjadi seorang wakil rakyat di negara ini?
Harga Jadi Seorang Wakil Rakyat
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi seorang wakil rakyat tidaklah murah. Dikutip The Conversation, Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014, Pramono Anung, pernah menghitung kalau rata-rata biaya kampanye calon anggota legislatif (caleg) DPR naik menjadi 1,5 kali lipat. Dari yang Rp3,3 miliar pada Pemilu 2009 menjadi Rp4,5 miliar pada Pemilu 2014.
Kalau ditaksir, biaya terkecil yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR adalah Rp300 juta, sementara yang terbesar Rp6 miliar. Menurutnya, biaya kampanye itu tergantung pada popularitas dan modal sosial si caleg ini. Figur yang tak asing seperti artis dan aktivis cenderung mengeluarkan biaya yang lebih sedikit daripada figur dari kalangan pengusaha.
Sebab, para figur yang sudah dikenal tidak memerlukan biaya promosi diri lagi untuk memperkenalkan siapa mereka. Secara mandiri, orang-orang sudah aware dengan keberadaan mereka tanpa harus mempromosikan apapun.
Dalam riset yang melibatkan caleg DPR-RI dari berbagai partai politik yang berlaga dalam Pemilu 2024, peneliti mencoba memahami berbagai jenis biaya, faktor-faktor pendorong besarnya biaya, serta dampak biaya tersebut terhadap demokrasi di Indonesia. Dari responden di studi tersebut terdiri dari 28% laki-laki dan 72% perempuan. Sebanyak 11% di antara mereka adalah caleg berusia di bawah 40 tahun.
Hasil studi tersebut menunjukkan kalau para caleg memang harus merogoh kantong dalam untuk bisa mengikuti pemilu legislatif (Pileg). Adapun harga yang harus mereka keluarkan tidak jauh berbeda dari taksiran Pramono Anung yaitu mencapai Rp5 miliar dengan angka paling sedikit berkisar Rp200 juta.
Terdapat informasi yang menyebutkan kalau seorang caleg di Jakarta bisa menghabiskan Rp160 miliar sampai akhirnya terpilih. Sementara caleg petahana yang rutin menyalurkan program-program pemerintah sedikitnya mengeluarkan biaya Rp20 miliar. Ongkos politik ini dikeluarkan secara bertahap selama empat tahapan pemilu, yakni pencalonan, kampanye, pemilihan, dan pasca-pemilihan.
Tahapan Pencalonan sampai Terpilih
1. Tahap Pencalonan
Ketika pencalonan, para caleg berlomba-lomba untuk mendapatkan nomor urut paling atas. Sebab lebih dari 80% mereka yang terpilih kebanyakan menempati nomor urut satu atau dua di kertas surat suara. Secara psikologis, posisi yang ada di daftar tersebut menjadi kode kuat untuk bagi pemilih kalau caleg tersebut yang paling diunggulkan oleh si partai--selain faktor lebih mudah ditemukan mata pemilih.
Tetapi tidak bisa dimungkiri kalau praktik beli nomor urut menjadi lazim terjadi. Dengan kondisi umum di mana laki-laki mempunyai sumber daya ekonomi serta koneksi politik yang lebih kuat daripada perempuan, maka caleg laki-laki cenderung mendominasi posisi teratas dari daftar kandidat.
Pengeluaran lain yang harus dirogoh oleh para calon ini adalah survei elektabilitas. Hasil survei akan menjadi alat tawar yang bisa mumpuni kepada partai supaya mereka bisa memberikan nominasi kepada si caleg. Itupun biayanya tergantung lokasi ya. Semakin ke timur Indonesia menjadi semakin mahal, mengingat logistik dan tingkat kesulitan aksesnya lebih menantang.
2. Tahap Kampanye
Pada tahap ini, caleg juga harus merogoh kocek yang cukup besar untuk membeli alat peraga kampanye (APK) seperti spanduk, kaos, dan atribut kampanye lainnya. Mereka pun harus membayar tim sukses (timses) di semua tingkat untuk menggaet dan mengawal pemilih. Adapun besaran timses tergantung pada kemampuan si caleg itu sendiri, ada yang mengaku menggaet 2.000 orang bahkan ada yang lebih dari 10 ribu orang.
Ini bukan cuma biaya cetak banner, billboard, spanduk, ya tetapi juga biaya logistik pengiriman ke daerah-daerah dan pengamanan agar poster dan spanduk tidak rusak atau dihilangkan. Salah satu responden menyebut jika biaya ATK bisa mencakup 45% dari total biaya kampanye.
Caleg pun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengumpulkan massa supaya mau hadir ke acara sosialisasinya. Goodie bag pun jangan lupa disiapkan, biasanya yang paling banyak diminta adalah sembako---minyak goreng, mie instan, kopi, dan lain sebagainya.
3. Tahap Pemilihan
Pemilihan adalah tahap ketiga yang harus dilewati oleh si caleg. Beberapa responden berbicara blak-blakan kalau mereka memang bagi-bagi amplop berisi uang supaya masyarakat mau menjual suaranya untuk mereka. Nominalnya pun tidak tanggung-tanggung mulai dari Rp100-500 ribu. Sedangkan yang lainnya mengklaim hanya lawan politik mereka yang melakukan itu.
Meskipun praktik ini melanggan Undang-undang Pemilu, tetapi kenyataannya sudah menjadi rahasia umum yang kerap dilakukan. Keterbatasan pendidikan pemilih dan kesulitan ekonomi menjadi faktor utama langgengnya praktik 'gelap' tersebut.
Pos lain yang tak kalah mahal adalah biaya saksi. Masalah integritas pemilu yang masih menjadi momok, para caleg ini rela membayar saksi untuk memantau TPS dan pusat perhitungan suara untuk memastikan akurasi pencatatan perolehan suara. Selain itu, untuk meminimalisir kecurangan, partai politik menyiapkan saksi-saksi mereka sendiri yang tugasnya melindungi perolehan suara.
Contohnya PDI-P, pernah melakukan kalkulasi bahwa seorang saksi rata-rata dibayar Rp100.000 untuk melaksanakan tugasnya. Jika dikalikan dengan jumlah saksi yang disiapkan PDI-P, minimal anggaran yang dibutuhkan adalah Rp1,4 triliun. Dana ini ditarik dari para caleg dan kader PDI-P yang bertugas di lini eksekutif, legislatif, dan jajaran pengurus.
4. Tahap pasca-pemilihan
Pada tahap akhir yakni pasca-pemilihan, pengeluaran politik terus membengkak. Kalau bersengketa dengan KPU, maka caleg harus membayar biaya-biaya soal gugatan. Sementara bila terpilih dan bertugas sebagai anggota DPR-RI, mereka akan dibanjiri permintaan dari konstituen mereka dalam bentuk uang, barang, alokasi beasiswa, program, atau hibah pemerintah untuk daerah pemilihan (dapil).
Para anggota harus responsif terhadap permintaan konstituen. Sebab, mereka yang sedang menjabat harus mempertahankan dukungan politik yang stabil dari para pemilih agar bisa kembali duduk di parlemen pada periode berikutnya. Di sinilah keuntungan petahana dalam kontestasi pemilu. Tidak hanya membantu mengurangi biaya kampanye, status petahana juga meningkatkan peluang keberhasilan di pemilu.
Itulah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang calon anggota legislatif setiap pemilihan umum berlangsung. Tingginya harga yang harus dibayar oleh si caleg ini membuat tujuan utama dari profesi ini pada akhirnya hanya sebuah jabatan belaka. Yang sudah-sudah pemilu ini pada akhirnya cuma ajang untuk mencari uang demi balik modal pencalonan.
Tujuan yang seharusnya menjadi seorang 'wakil' dari masyarakat dikesampingkan demi membayar harga mahal sebelum mendapat 'kursi' di parlemen. Tak mengherankan bahwa kualitas demokrasi kita semakin lama semakin terkikis.
(DIR/tim)