Insight | General Knowledge

Problematika Pemilih Pemilu: Pilih Pakai Feeling hingga Malas Memilih

Selasa, 13 Feb 2024 20:00 WIB
Problematika Pemilih Pemilu: Pilih Pakai Feeling hingga Malas Memilih
Foto: Freepik
Jakarta -

Tak terasa ini sudah H-1 sebelum hari pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia pun telah bersiap untuk menyambut salah satu pesta demokrasi terbesar di dunia. Namun di sisi lain, terdapat banyak problematika pemilih   terutama pemilih muda   yang masih berkutat dengan kebingungan siapa yang akan mereka pilih besok.

Ya, saking banyaknya caleg bertebaran dalam pemilu tahun ini, mereka pun berakhir pada pilihan memilih berdasarkan wajah, nama, familiaritas, perasaan, bahkan urung memilih saking bingungnya. Kami pun bertanya kepada beberapa pemilih muda tentang permasalahan mereka sebagai pemilih muda pada pemilu kali ini.

Ryan (24) mengatakan ketika memilih calon pemimpin, ia bukanlah tipikal yang mau mencoblos hanya karena sering melihat alat peraga kampanye berseliweran di jalan. Tetapi karena visi-misi merekalah yang membuat Ryan tergerak untuk memilih. Ia mengaku merasakan adanya perbedaan tahun ini.

"Kalau untuk sekarang, kayaknya aku tidak memilih. Bukan karena aku nggak mau, ya. Sudah tidak tahu siapa-siapa saja yang berlaga, aku juga merasa ribet mengurus kepindahan pencoblosan gitu. Soalnya domisili aku kan beda ya, sama tempat asalku," kata Ryan kepada CXO Media saat ditemui di sekitaran Tendean, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, memilih secara ideal itu adalah ketika kita tahu siapa calon pemimpinnya, bukan cuma soal nama dan wajah, tetapi apa yang sudah mereka lakukan untuk masyarakat sebelumnya. Kata Ryan, sesederhana mereka pernah ikut perkumpulan pemuda, menjadi kepala desa setempat, atau bahkan lurah dulu.

"Ketika aku memilih, aku bukan tipikal yang memilih karena sering melihat di alat peraga kampanye terus aku pilih, sih. Alasannya ya harus karena visi-misinya. Menurut aku juga mereka harusnya pernah berkontribusi dulu di daerahnya, next step barulah bisa jadi legislatif," ungkapnya.

Pria berkacamata itu sebenarnya tahu bahwa keputusannya untuk tidak memilih bukan sesuatu yang baik. Namun karena value dirinya ketika memilih pemimpin itu sangat kuat, maka ia memilih untuk abstain di pemilu kali ini.

"Buat aku yang terpenting itu background dan track record dia seperti apa sebelum pencalonan sih," kata Ryan.

Serupa dengan Ryan, Gea (24) pun memilih untuk abstain untuk memilih tahun ini karena pekerjaannya. Sebenarnya ia tertarik untuk mencoblos sebelumnya, namun karena persyaratan pengurusan daftar pemilih dinilai ribet, Gea pun jadi malas untuk memilih.

Ditambah lagi, Gea mengaku tidak tahu-menahu tentang caleg-caleg di daerahnya yang berlaga di kontestasi pemilu itu siapa saja. Saking banyaknya, dia pun malas untuk mencari tahu. Sehingga sampai saat ini, ia hanya mengetahui beberapa nama caleg yang ada di Jakarta saja ketimbang di daerah asal pemilihnya.

"Aku tahunya dari melihat spanduk-spanduk mereka, tagline mereka di spanduknya juga. Menarik sih, tapi aku tuh sebenernya tipikal yang tidak terlalu peduli dengan visi-misinya calon pemimpin seperti apa. Secara garis besar tahu apa-apa saja program yang bakal mereka lakukan kalau menang," kata Gea saat diwawancara di sekitaran Mampang.

Walau demikian, perempuan berjilbab itu mengakui alat-alat peraga kampanye yang bertebaran di jalan protokol Jakarta cukup ampuh untuk mendulang awareness. Namun, hal tersebut belum membuat hati Gea tergerak untuk mencoblos di tahun ini.

"Ya, sepertinya aku kayak bukan warga negara yang baik ya. Tapi aku itu memang bukan tipikal orang yang akan memilih hanya karena feeling atau tahu wajah saja, sih. Makanya lebih baik aku tidak mencoblos karena nggak tahu juga," paparnya.

Berbeda dengan Gea dan Ryan, bagi Gagas (25) pemilu kali ini ia ingin turut serta mencoblos. Walaupun ketika ditanya apakah dia tahu siapa-siapa saja caleg yang bakal berlaga minimal di wilayah pemilihannya, ia menjawab sama sekali tidak tahu.

Jumlahnya pun Gagas mengaku tidak tahu akan berapa banyak orang yang akan masuk dalam surat suara. Tapi setidaknya alat peraga kampanye yang dilihatnya di sepanjang jalan pulang ke rumah membuatnya tahu nama dan wajah caleg-caleg tersebut.

"Jujur saja, aku nggak tahu jumlah pastinya caleg-caleg dapil aku tuh berapa. Tapi, setiap kali pulang ke rumah kan sering lihat poster-poster mereka gitu di jalanan. Jadi ya sudah, kenal wajah dan namanya saja. Aku pun nggak bisa cari tahu visi-misinya, maksudnya bingung gitu mau pilih siapanya," ungkap Gagas.

Pada akhirnya, ia memutuskan untuk memilih berdasarkan baliho-baliho yang selama ini dilihatnya saja. Kalaupun wajahnya tidak ditunjukkan di kertas suara, namun nama-nama mereka sudah dihafalnya.

"Paling kalo harus nyoblos sih ya sudah berdasarkan hati dan perasaan saja. Kayak misalnya, orang ini sepertinya bisa mengurus daerahku dengan baik. Sebenarnya aku bingung juga mau cari di mana, jadi sejauh ini aku belum tahu juga sih mereka akan ngerjain apa kalau menang," ujarnya.

Ketiganya mengakui bahwa sebagian besar calon-calon legislatif di daerahnya kurang menunjukkan promosi di media lain   misalnya saja media sosial. Apalagi lebih dari 50 persen pemilih pada tahun ini adalah anak-anak muda. Tentu saja, medium yang semestinya dari awal dimanfaatkan adalah yang kerap dipakai oleh anak-anak muda untuk berinteraksi.

Gagas pun mengatakan pemakaian media sosial sekarang ini sangat penting untuk keterjangkauan kepada anak-anak muda di daerah. Ia pun mengapresiasi beberapa caleg di daerah yang menggunakan media sosial seperti TikTok sebagai media kampanye mereka.

"Iya, penting banget tuh. Malah di TikTok aku banyak banget caleg di luar daerah yang masuk ke FYP. Malah caleg yang bukan daerah pemilihanku itu yang masuk di media sosial aku. Jadi penting banget untuk menyampaikannya lewat sosial media, memanfaatkan itu untuk promosi. Atau biar lebih dikenal lagi, bisa tuh kolaborasi sama influencer. Itu jadi lebih worth it," kata Gagas.

Meski begitu, permasalahan paling mendasarnya adalah fakta bahwa tidak sedikit anak-anak muda yang ingin tahu dan ingin menjadi bagian dari proses demokrasi, tapi terbatas pengetahuan dari calon-calon pemimpinnya. Sebab, cara promosi baliho-baliho telah jadi cara lama yang lebih banyak menimbulkan sampah ketimbang mendulang suara. Sehingga tidak mengherankan, mereka yang mungkin mempunyai value seperti Ryan dan Gea   memilih berdasarkan visi-misi-tidak tertampung dan berakhir tidak mencoblos.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS