Insight | General Knowledge

Death Row Phenomenon: Siksaan Psikologis yang Dialami Terpidana Mati

Rabu, 26 Apr 2023 14:43 WIB
Death Row Phenomenon: Siksaan Psikologis yang Dialami Terpidana Mati
Foto: Pexels
Jakarta -

Terpidana mati kasus narkotika Merri Utami bisa sedikit bernapas lega setelah mendapatkan Grasi dari Presiden Jokowi yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 1/G/2023. Keppres tersebut mengubah hukuman mati Merri menjadi penjara seumur hidup.

Merri sendiri sebenarnya sudah mengajukan grasi sejak tahun 2016, tapi permohonannya baru disetujui oleh Jokowi 7 tahun kemudian. Meski grasi ini membawa kemajuan pada kasus Merri, tapi Muhammad Afif selaku kuasa hukum Merri sekaligus Direktur LBH Masyarakat menyebutkan bahwa pemberian grasi ini hanya setengah hati.

Pertama, Merri telah mendekam di penjara selama 22 tahun tanpa kepastian kapan dirinya akan dieksekusi mati. Kedua, berdasarkan Undang-undang, presiden seharusnya memberikan keputusan grasi paling lama 3 bulan setelah menerima pertimbangan dari Mahkamah Agung. Sedangkan dalam kasus ini, nasib Merri digantungkan selama 7 tahun.

Afif mengatakan bahwa masa tunggu yang lama ini menyebabkan Merri mengalami beban psikologis yang bertubi-tubi atau death row phenomenon. Death row phenomenon adalah tekanan psikis atau emosional yang dialami para terpidana mati ketika menunggu dieksekusi. Istilah ini muncul dalam perdebatan mengenai hukuman mati yang dinilai tidak manusiawi.

Tersiksa Menunggu Eksekusi Mati

Hingga saat ini, sudah ada 85 negara yang menghapus hukuman mati. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara yang masih memberlakukannya, bersama dengan Arab Saudi, Korea Utara, dan Tiongkok. Pendirian Indonesia untuk memberlakukan vonis mati tak bergoyah meski telah beberapa kali diprotes oleh dunia internasional. Pasalnya, hukuman mati dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia.

Ada beberapa pertimbangan yang membuat hukuman mati dinilai tidak manusiawi. Aspek tidak manusiawi dalam hukuman mati bukan hanya ketika nyawa terpidana dihilangkan, tapi juga ketika terpidana menunggu eksekusi hukuman mati. Pada kenyataannya, death row phenomenon atau fenomena deret tunggu merupakan bentuk hukuman atau penyiksaan tersendiri bagi terpidana mati.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Institute for Criminal Justice Reform, per April 2020 ada 274 terpidana mati dalam deret tunggu di Indonesia, di mana 60 diantaranya sudah menunggu selama lebih dari 10 tahun. Bahkan, 4 di antaranya sudah menunggu lebih dari 20 tahun. Waktu yang lama dalam menunggu eksekusi mati adalah bentuk penyiksaan tersendiri, lantaran para terpidana terus-menerus berada di bawah bayang-bayang ketidakpastian-mereka tahu mereka akan mati, tapi mereka tak tahu kapan dan bagaimana mereka akan mati.

Selain itu, ICJR juga menemukan bahwa para terpidana ini berada dalam kondisi yang tidak manusiawi ketika menunggu eksekusi di Lembaga Pemasyarakatan. Mereka mendapat berbagai perlakuan buruk seperti pembatasan ruang gerak, terbatasnya waktu besuk, tindakan pendisiplinan yang tidak proporsional, tidak adanya perawatan kesehatan fisik dan psikologis secara berkala, serta terbatasnya akses ke buku bacaan atau aktivitas lain di dalam lapas.

Berbagai kondisi ini berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan para terpidana yang menjalani masa tunggu, baik secara fisik maupun mental. Dalam beberapa kasus, terpidana bisa sampai mengalami delusi dan bahkan memiliki tendensi untuk bunuh diri.

Belum Ada Ketentuan Masa Tunggu yang Pasti

Menurut Undang-undang, ada beberapa alasan yang bisa membuat eksekusi mati ditunda. Salah satunya yaitu untuk memberikan waktu kepada terpidana agar bisa menempuh segala upaya hukum, termasuk grasi. Lalu, apabila terpidana sedang dalam kondisi hamil, maka ia baru bisa dieksekusi 40 hari setelah melahirkan. Kemudian, para terpidana juga bisa diberi masa percobaan 10 tahun untuk melihat apakah ada kemungkinan merubah diri.

Namun, belum ada hukum yang mengatur secara spesifik batas minimum atau maksimum masa tunggu bagi para terpidana mati. Birokrasi yang berbelit-belit menjadi penyebab utama pelaksanaan eksekusi bisa memakan waktu yang lama, bahkan hingga melebihi 10 tahun.

Seperti kasus Merri, misalnya, meski ia sudah mengajukan grasi sejak 2016, permohonannya baru dikabulkan 2023. Sebaliknya, apabila grasi ditolak, bukan berarti eksekusi terpidana segera dilaksanakan. Untuk melaksanakan eksekusi, harus ada perintah dari jaksa agung, koordinasi dari kepolisian, serta perintah dari presiden.

Death row phenomenon telah menjadi isu perhatian dari berbagai lembaga dan praktisi hukum, termasuk Komnas HAM. Komnas HAM sendiri berpendapat bahwa masa tunggu yang ideal bagi terpidana adalah 5 tahun, karena jangka waktu tersebut sudah cukup untuk proses pembinaan dan evaluasi untuk melihat apakah ada perubahan yang lebih baik dalam diri terpidana.

Indonesia memang belum menunjukkan tanda-tanda akan menghapus hukuman mati. Tapi setidak-tidaknya, death row phenomenon harus menjadi catatan bagi negara dan penegak hukum bahwa hukuman yang paling berat sekalipun harus dijalankan dengan mempertimbangkan kemanusiaan.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS