Insight | General Knowledge

Mari Bicara Soal Sex Education

Minggu, 22 Jan 2023 12:00 WIB
Mari Bicara Soal Sex Education
Foto: Pexels
Jakarta -

Tingginya jumlah permohonan untuk dispensasi pernikahan dini membuat isu kehamilan di kalangan remaja kembali disorot. Melansir dari Detik, sepanjang tahun 2022 Pengadilan Agama Ponorogo menerima 191 permohonan menikah dini, di mana sebagian besar permohonan tersebut diakibatkan oleh kehamilan. Undang-Undang sendiri telah merevisi batas usia minimal untuk menikah, yaitu dari yang sebelumnya 16 tahun menjadi 19 tahun. Namun nampaknya perubahan aturan ini masih belum bisa meminimalisir jumlah kasus pernikahan anak, yang terpaksa disetujui lantaran banyaknya kasus kehamilan.

Fenomena ini tentunya menjadi kekhawatiran banyak pihak, sebab para remaja tersebut ditakutkan belum memiliki kesiapan jasmani atau rohani untuk menjadi ibu atau membina rumah tangga di usia yang masih sangat muda. Dan lagi, ada banyak sekali remaja yang terpaksa berhenti melanjutkan pendidikan karena harus memiliki anak dan menikah. Namun lagi-lagi, pembahasan mengenai akar permasalahan hanya dikerucutkan ke satu penyebab: seks di luar nikah. Padahal, masalahnya sedikit lebih rumit dari itu, yaitu belum tersedianya pendidikan seksual yang komprehensif.

Memang, banyak sekolah sudah mengintegrasikan pendidikan seksual ke dalam kurikulum. Akan tetapi, pendidikan tersebut seringkali hanya mencakup materi mengenai anatomi organ reproduksi dan imbauan-imbauan mengenai bahaya seks di luar nikah. Survei yang dilakukan oleh Magdalene menunjukkan bahwa 98,5 persen responden remaja mengatakan mereka membutuhkan pendidikan seksual. Namun sayangnya, hanya 12,84 persen yang menilai pendidikan seksual di sekolah sudah memadai. Lantas, apa saja yang seharusnya diajarkan dalam pendidikan seksual?

Sex Education yang Komprehensif

Pada tahun 2019, UNESCO menerbitkan Global Education Monitoring Report yang membahas pentingnya pendidikan seksual yang komprehensif. Menurut UNESCO, pendidikan seksual yang komprehensif seharusnya mencakup aspek kognitif, emosi, sosial, dan interaksi fisik dari seksualitas. Sedangkan, selama ini pendidikan yang ada hanya mencakup aspek interaksi fisiknya saja. Sementara itu, aspek kognitif, emosi, dan sosial bertujuan untuk membekali remaja dengan pengetahuan dan sikap yang bisa memberdayakan mereka dalam hal kesehatan seksual.

Berdaya yang dimaksud di atas adalah berdaya untuk bisa membuat keputusan yang tidak akan merugikan mereka di kemudian hari. Sehingga, mereka terhindar dari permasalahan-permasalahan seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit seksual menular, kekerasan seksual, dan hubungan yang tidak sehat. Agar bisa sampai ke situ, pendidikan seksual harus bisa mencakup materi mengenai consent, seks yang aman, dan seperti apa itu hubungan yang sehat.

Misalnya, untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit seksual menular, mereka perlu dibekali dengan pengetahuan mengenai metode-metode kontrasepsi dan caranya menjaga kesehatan organ reproduksi. Selain itu untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual, para remaja juga perlu dibekali pengetahuan mengenai cara berkomunikasi, bernegosiasi, dan menolak aktivitas seksual yang dapat merugikan diri mereka.

Sayangnya, komponen-komponen di atas belum semuanya dimuat dalam pendidikan seksual karena terbentur norma sehingga dianggap sebagai topik yang tabu. Kita harus berani mengkonfrontasi realita yang ada hari ini: dilarang atau tidak, banyak remaja akan tetap mengeksplorasi seksualitas mereka. Sehingga, lebih baik apabila sedari awal mereka dibekali pengetahuan yang komprehensif, agar nantinya mereka bisa mengambil keputusan yang lebih tepat dan tidak merugikan diri sendiri.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS