Insight | General Knowledge

Kritik Aman Buat Pejabat, Memang Bisa?

Selasa, 15 Nov 2022 16:00 WIB
Kritik Aman Buat Pejabat, Memang Bisa?
Foto: Freepik
Jakarta -

Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) baru saja diperbarui oleh pemerintah dan diserahkan pada DPR RI pada Rabu (9/11) lalu. Dalam draf terbarunya terdapat sejumlah pasal yang diperbarui, namun ada juga yang dipertahankan-seperti pasal penghinaan terhadap lembaga negara seperti DPR, Polri, Kejaksaan, hingga pemerintah daerah.

Berdasarkan Pasal 349 ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, bisa dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidana bisa diperberat jika penghinaan tersebut menyebabkan kerusuhan. Sementara Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun, jika penghinaan itu dilakukan lewat media sosial.

Tak hanya hukuman pidana yang mengintai, dalam pasal tersebut juga menjelaskan denda yang harus ditanggung jika menghina pemerintah. Besaran denda yang harus dibayar para pelaku penghinaan mulai dari Rp10 juta hingga yang terberat mencapai Rp200 juta. Kekuasaan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah lembaga negara seperti DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri-sejumlah lembaga tersebut harus dihormati. Bahkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pun berharap RKUHP ini bisa diterima dan disahkan di akhir tahun ini.

.Ilustrasi mengkritik pemerintah/ Foto: Freepik

Meskipun drafnya telah diberikan kepada DPR RI, tapi sepertinya sebagian besar masyarakat masih mempermasalahkan pasal tersebut. Mereka menganggap pasal-pasal tersebut akan merenggut fungsi rakyat yakni sebagai pengawas pemerintahan dan mencegah kebebasan berpendapat. Hal ini pun bertentangan dengan pernyataan pemerintah pada tahun 2021 silam bahwa pemerintah meminta kritik keras dan terbuka. Dikutip Detikcom, dalam analisis respons publik yang dilakukan oleh Drone Emprit, ada beberapa emosi publik atas pernyataan tersebut.

Pada laporannya, emosi pertama yang ada adalah terkait dimensi kepercayaan. Sebagian besar publik tidak percaya mereka akan tetap aman ketika menyampaikan kritik, bahkan jika kritik tersebut hanya sekadar kritik ringan. Sebab, batasan antara kritik dengan penghinaan yang dimaksud oleh pemerintah kini semakin kabur. Emosi publik terhadap pernyataan "pemerintah minta dikritik" yang terlihat adalah ketakutan dan merasa tidak bebas mengkritik. Selanjutnya, ada juga emosi kesenangan dengan pernyataan tersebut, walau "kesenangan" yang dimaksud lebih kepada bentuk sarkasme semata.

Tak heran masih banyak masyarakat yang menolak keras pasal tersebut. Bagaimana tidak, kritik seharusnya berasal dari dalam diri dan untuk membangun seseorang agar menjadi pribadi lebih baik lagi, tapi seakan diancam keberadaannya dengan ketidakbebasan sampai ketakutan. Lantas, adakah kritik yang benar-benar aman yang bisa kita lakukan?

Kritik Tak Sama dengan Menghina

Meskipun pasal-pasal RKUHP yang baru seperti membuat masyarakat terbungkam, tetapi bila ditelusuri lebih jeli lagi, pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa yang akan mendapat hukuman adalah penghinaan, bukan kritik. Ya, menghina tak sama dengan mengkritik. Inilah yang masih membuat masyarakat salah kaprah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik mempunyai makna kecaman atau tanggapan-walau terkadang memang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya. Ada beberapa unsur dari kritik, yakni pihak yang mengkritik, pihak yang dikritik, dan substansi kritik itu sendiri. Sementara menghina, bermakna merendahkan atau memburukkan nama baik seseorang sampai menyinggung perasaan dengan cara memaki dan menistakan.

Oleh sebab itu, pemerintah sebenarnya memberikan beberapa opsi untuk menyampaikan pendapat dan kritik terhadap pemerintah tanpa takut harus dipanggil polisi bahkan mendapatkan sanksi pidana. Jika kamu, sebagai masyarakat menemukan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh pemerintah, kamu bisa mengadukannya kepada pembina penyelenggara dan Ombudsman.

.Ilustrasi mengkritik pemerintah/ Foto: Freepik

Laporan yang bisa kamu lakukan ke Ombudsman perlu memenuhi persyaratan pelapor, pihak yang dilaporkan, dan uraian peristiwa yang lengkap dan jelas. Identitas pelapor harus memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan dan alamat lengkap. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pelapor dapat dirahasiakan. Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi pihak pelapor yang merupakan pihak atau korban langsung yang benar-benar mengalami kerugian.

Selain itu laporan harus memuat uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan secara rinci. Hal ini dimaksudkan agar pihak terlapor dan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh terlapor menjadi jelas dan termasuk dalam wewenang Ombudsman.

Sementara bagi kamu yang ingin mengkritik kinerja dari dewan perwakilan, DPR RI menyediakan layanan pengaduan masyarakat lewat website pengaduan.dpr.go.id. Pengaduan yang dimaksud adalah ungkapan rasa tidak senang, ketidakpuasan, atau keluhan atas suatu permasalahan yang terkait dengan fungsi pengawasan pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan keuangan negara, dan kebijakan pemerintah.

Kamu pun bisa menyampaikan pernyataan sikap, pendapat, harapan, kritik, masukan, dan saran terkait tugas, fungsi, dan kewenangan DPR RI. Konten website tersebut menjelaskan secara rinci alur proses penanganan aduan yang telah kamu buat lewat surat tertulis maupun secara online.

Terlepas dari skeptisisme kita terhadap pemerintah sendiri-apakah menerima kritik dan saran yang kita berikan untuk perbaikan kinerja mereka-setidaknya pemerintah telah menyediakan wadah kritik yang aman bagi warganya. Mengkritik di ruang yang benar dan kepada pihak yang tepat tidak akan membuatmu salah, sebab kritik dasarnya untuk membangun, bukan menghina.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS