Insight | General Knowledge

Menakar Batasan Antara Fans dan Idola

Senin, 07 Nov 2022 20:30 WIB
Menakar Batasan Antara Fans dan Idola
Foto: Pexels: Denissa Devy
Jakarta -

Kedatangan Oh Se-hun atau Sehun dari EXO di Jakarta pada hari Minggu (6/11) kemarin menyisakan kekecewaan bagi para penggemarnya. Acara fanmeet yang diadakan di mal Central Park, Jakarta Barat, tersebut diperkirakan dihadiri oleh sekitar 19.000 orang penggemar. Kehadiran Sehun di acara tersebut sendiri merupakan bagian dari rangkaian peluncuran desain packaging produk baru dari brand kecantikan. Membludaknya jumlah pengunjung fanmeet membuat acara tersebut harus diakhiri lebih awal untuk alasan keamanan. Sebenarnya, venue bagi acara ini sudah dipertanyakan oleh fans sejak awal, dikarenakan letaknya yang indoor dan kapasitasnya yang terbatas. Pihak brand sebagai penyelenggara sendiri dinyatakan kurang sigap dalam mengantisipasi antusiasme fans.

Terlepas dari isu-isu terkait penyelenggaraan, tak dapat dimungkiri bahwa keamanan merupakan faktor utama yang menyebabkan durasi fanmeet dipotong. Walau pengunjung berlaku kondusif, banyak risiko-risiko yang bisa terjadi dari banyaknya jumlah manusia dalam satu tempat dengan kapasitas terbatas. Jumlah pengunjung yang tinggi ini menunjukkan bahwa bagi fans, kesempatan untuk menemui idola mereka—walau dari jarak yang jauh—merupakan hal yang tak bisa dilewatkan. Bagi masyarakat luas, dedikasi ini bisa dipandang sebagai hal yang sulit dimengerti, namun nyatanya hal ini lumrah dalam kultur fandom sejak berdekade-dekade lalu.

Saat The Beatles pertama kali mendarat di Amerika Serikat pada tahun 1964, mereka disambut oleh ribuan penggemarnya yang hampir menimbulkan kerusuhan. Konon, penonton yang pingsan ketika melihat mereka tampil secara langsung merupakan peristiwa yang lumrah pada masa tersebut. Fanmeet Sehun di Central Park merupakan acara terorganisir yang memang mempertemukan fans dan idola mereka, namun tak sedikit juga peristiwa di mana fans bersikeras ingin menemui idola mereka dalam setting sosial lain.

Seperti pada kedatangan The Beatles puluhan tahun lalu, banyak peristiwa di mana fans dari grup, musisi, hingga selebritis tertentu menyambut kedatangan mereka di bandara hingga menyebabkan penuhnya kapasitas. Terkadang, fans juga mendatangi hotel tempat idola mereka menginap hingga menimbulkan keramaian di daerah sekitarnya.

Batasan privasi kadang terlewati dalam upaya fans untuk berinteraksi dengan idola. Bagi mereka yang berada pada posisi sebagai idola, persepsi publik tentang mereka seakan bergeser seiring popularitas mereka meningkat. Yang dipandang bukanlah lagi mereka sebagai individu, tetapi sebagai gagasan yang ideal di mata fans dan publik.

Bagi fans yang telah mendukung karir idolanya, kadang timbul perasaan entitled untuk mendapatkan resiprokasi dalam berbagai bentuk. Terbentuknya hubungan parasosial membuat orang merasa bahwa mereka bukanlah sekadar fans bagi idolanya. Isu ini tentu terlalu kompleks untuk dibahas dalam satu artikel, namun yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa kita tidak bisa menempatkan diri sebagai fans semata bagi idola kita?

Kadang, potongan lirik yang dirasa relatable membuat kita merasa dekat dengan musisi favorit. Bagi sebagian orang, konten bersifat personal dari sang idola bisa membuat mereka merasa mengenal idolanya lebih dekat. Seperti banyak hal dalam hidup, hubungan ini bisa memiliki pengaruh positif dan negatif dalam hidup seseorang. Melalui identifikasi diri dalam karya idola, seorang fans bisa menemukan motivasi positif untuk menjalani kesehariannya. Sebaliknya, emotional investment yang berlebihan juga bisa menciptakan attachment tidak sehat hingga delusi bagi fans.

Pada akhirnya, seorang idola adalah seseorang yang menjalankan profesinya sebagai entertainer dalam berbagai kapasitas. Dalam hubungan antara fans dan idolanya, memang terdapat timbal balik apa yang diberi dan diterima, namun kesadaran akan batasan-batasan hubungan ini merupakan aspek penting untuk menjaganya tetap sehat.

[Gambas:Audio CXO]

(alm/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS