Insight | General Knowledge

Poverty Porn: Ketika Kemiskinan Dieksploitasi untuk Konten

Selasa, 04 Oct 2022 16:02 WIB
Poverty Porn: Ketika Kemiskinan Dieksploitasi untuk Konten
Foto: Unsplash
Jakarta -

Bagi generasi yang tumbuh menonton televisi, pasti tidak asing dengan tayangan Uang Kaget. Dalam reality show ini, sang host mendatangi seorang warga lalu memberikan uang puluhan juta rupiah untuk dihabiskan dalam waktu kurang dari 1 jam. Warga yang dipilih biasanya adalah warga yang berasal dari golongan kurang mampu dan sedang membutuhkan pertolongan ekonomi. Setelah diberi uang, kamera akan mengikuti warga yang wara-wiri membeli perhiasan, kulkas, mesin cuci, dan barang-barang lainnya yang bisa dibeli secara kilat.

Tak hanya televisi, YouTube pun kini juga dipenuhi dengan konten serupa. Selebriti dan influencer berlomba-lomba mendatangi warga kurang mampu untuk memberikan bantuan finansial, salah satunya yaitu Baim Wong. Dalam video berikut ini misalnya, Baim bertemu dengan seorang ibu-ibu yang berjualan rempeyek di pinggir jalan. Ibu tersebut diminta untuk bercerita mengenai kisah hidupnya, termasuk mengenai anaknya yang putus sekolah. Sesekali, muncul backsound lagu sendu yang menambah suasana sedih dalam video. Lalu di bagian akhir, Baim datang ke sekolah untuk membiayai pendidikan sang anak.

[Gambas:Youtube]

Kedua tayangan di atas memiliki persamaan, yaitu dengan memilih warga kurang mampu sebagai subjek utama. Sekilas, mungkin rasanya tak ada yang salah dengan hal tersebut. Toh tujuannya sama-sama mulia, yaitu untuk membantu mereka yang kurang mampu. Benarkah, demikian? Nyatanya, konten-konten ini menyimpan permasalahan dalam bagaimana mereka membingkai kemiskinan. Kedua konten di atas adalah contoh dari poverty porn, yaitu ketika kemiskinan dieksploitasi dalam media dengan tujuan mendulang simpati penonton.

Menjual Kisah Sedih Demi Rating

Istilah poverty porn populer sejak era 80an, tepatnya ketika konser amal Live Aid diadakan di Inggris tahun 1985. Konser yang melibatkan musisi-musisi dunia ini bertujuan untuk menggalang dana bagi Ethiopia yang dilanda krisis kelaparan. Seluruh media kampanye untuk konser ini menggunakan foto-foto anak Afrika yang menderita karena kelaparan. Foto-foto itu dipertontonkan kepada warga Inggris untuk mendulang simpati publik sehingga mereka terdorong untuk berdonasi. Mungkin Live Aid berhasil menggalang dana, tapi cara mereka 'menjual' penderitaan anak-anak Ethiopia juga banjir kritikan.

Kata porn dalam istilah poverty porn digunakan untuk menunjukkan kesamaan antara poverty porn dengan pornografi pada umumnya. Dalam konten pornografi, yang dijual adalah imajinasi mengenai seks. Sedangkan dalam konten poverty porn, yang dijual adalah imajinasi mengenai kemiskinan dan penderitaan. Menurut Melissa Anne, peneliti dari University of Texas, poverty porn marak dilakukan oleh media karena ini adalah strategi paling ampuh untuk menggaet perhatian audiens.

.Bob Geldof di tengah kerumunan anak-anak Ethiopia/ Foto: wrongkindofgreen.org


Dengan membingkai kemiskinan sebagai kisah sedih yang penuh sensasi, hati audiens akan tergerak untuk bersimpati. Hal ini pun menjadi keuntungan bagi pemilik media atau pembuat konten, karena konten yang mereka buat 'laku' di pasaran. Tak hanya itu, poverty porn juga bisa membangkitkan kecenderungan saviour complex, baik di kalangan pembuat konten atau di kalangan penonton yang mengkonsumsi konten.

Di samping itu, poverty porn juga berbahaya karena ia bisa melanggengkan mitos-mitos mengenai kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah yang sifatnya struktural, artinya ia berkaitan dengan kebijakan serta kondisi ekonomi dan sosial yang lebih luas. Namun dalam poverty porn, konteks mengapa subjeknya hidup dalam kemiskinan kerap kali dihilangkan. Kemiskinan akhirnya dibingkai sebagai masalah individu dengan penggambaran yang stereotipikal. Misalnya, kemiskinan terjadi karena nasib yang malang atau lebih parah lagi, karena rasa malas.

Sudah waktunya media dan pembuat konten berhenti mengeksploitasi kemiskinan demi mendulang rating atau viewers. Kalau memang ingin membantu warga kurang mampu, rasanya ada cara yang lebih etis ketimbang membuat mereka jadi konten. Lagipula, yang dibutuhkan orang miskin bukanlah simpati. Yang dibutuhkan oleh orang miskin adalah akses terhadap hunian layak, pendidikan yang terjangkau, kesempatan kerja, dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS