Insight | General Knowledge

Impor Baju Bekas dan Sisi Lain Thrifting

Selasa, 04 Oct 2022 14:00 WIB
Impor Baju Bekas dan Sisi Lain Thrifting
Foto: Detikcom
Jakarta -

Dari yang awalnya dipandang sebagai baju murah untuk masyarakat kelas bawah, baju bekas kini justru digandrungi banyak anak muda perkotaan kelas menengah. Pergeseran tren belanja baju bekas alias thrifting ini turut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Mulai dari kegemaran terhadap barang-barang vintage, keinginan untuk mencari pakaian branded dengan harga miring, hingga kesadaran mengenai ethical fashion.

Untuk faktor ketiga di atas, thrifting disebutkan sebagai praktek yang lebih ethical ketimbang membeli baju baru karena bisa membawa dampak baik bagi lingkungan. Pasalnya, limbah pakaian telah menjadi salah satu masalah lingkungan terparah di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan masyarakat untuk membeli baju baru dan membuang baju lama. United Nations Environment Programme (UNEP) mencatat, industri fesyen menyumbang 92 juta ton limbah pakaian setiap tahunnya.

Sedangkan dengan membeli baju bekas, kita bisa meminimalisir jumlah limbah pakaian yang berakhir di tempat pembuangan. Umur pakaian pun akan lebih panjang dan kita bisa mengurangi jejak karbon serta limbah air yang selama ini dihasilkan dari proses produksi pakaian. Namun, thrifting menyimpan permasalahan lain yaitu bisnis impor baju bekas.

Mengimpor Baju Bekas, Menimbun Sampah

Bulan Agustus lalu, Kementerian Perdagangan bersama bea cukai melakukan pemusnahan terhadap 750 bal pakaian bekas impor yang ditemukan di Pergudangan Gracia, Karawang. Baju bekas impor yang ditaksir bernilai Rp 9 miliar itu dimusnahkan dengan cara dibakar. Indonesia   dan negara berkembang lainnya   memang telah menjadi salah satu negara tujuan ekspor baju bekas dari negara-negara maju. Menurut Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, baju bekas ini banyak yang diselundupkan melalui pelabuhan-pelabuhan kecil.

Tingginya minat terhadap baju bekas membuat volume baju bekas impor di Indonesia melejit tinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik, tahun 2019 volume baju bekas yang diimpor mencapai 392 ton. Masalahnya, dengan jumlah impor yang begitu besar, tak semua baju-baju tersebut berakhir di tangan pembeli. Sehingga pada akhirnya, banyak di antara baju bekas impor tersebut berakhir di Tempat Pembuangan Akhir.

Menurut peneliti pengelolaan dan teknologi persampahan, Dr. Emenda Sembiring, tren thrifting sebenarnya berdampak positif bagi lingkungan, dengan catatan sumbernya berasal dari dalam negeri dan bukan impor. "Mau kita lihat dari sudut pandang emisi, jumlah sampah yang dihasilkan, lebih banyak untungnya kalau sumbernya dan marketnya dari dalam negeri," ucapnya seperti dikutip dari BBC.

Dampak negatif dari impor baju bekas membuat pemerintah menggencarkan larangan produk tersebut. Namun di sisi lain, larangan impor baju bekas ditakutkan akan merugikan pedagang-pedagang UKM kecil menengah yang selama ini sumber penghasilannya berasal dari menjual baju bekas. Lalu, bagaimana solusinya? Salah satu langkah kecil yang bisa dilakukan oleh kita sebagai konsumen adalah agar tidak mengkonsumsi pakaian secara berlebihan, meski pakaian yang dibeli adalah baju bekas. Alih-alih membeli pakaian bekas dalam jumlah banyak, kita bisa memaksimalkan pemakaian baju yang sudah dibeli. Selain itu, kita juga bisa mendukung praktik upcycling atau rework di mana baju bekas tersebut dijahit ulang atau dimodifikasi sehingga menjadi bentuk yang baru.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS