Insight | General Knowledge

Beberapa Pertimbangan Sebelum 'Spill the Tea' Kasus Kekerasan Seksual

Minggu, 25 Sep 2022 15:00 WIB
Beberapa Pertimbangan Sebelum 'Spill the Tea' Kasus Kekerasan Seksual
Foto: Pexels
Jakarta -

Sudah bukan rahasia lagi, kalau institusi kepolisian hampir tak bisa diharapkan ketika menangani laporan kekerasan seksual. Sebelum adanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban kekerasan seksual sulit sekali mendapat keadilan. Laporan mereka kerap tidak digubris, tidak dipercayai, atau justru mendapat stigma dan victim-blaming. Hal inilah yang mendorong banyak korban akhirnya beralih ke media sosial untuk mengungkap tindakan pelaku kepada warganet atau yang populer disebut dengan "spill the tea".

Dalam fenomena spill the tea, biasanya sesudah korban atau orang terdekat korban menceritakan aksi pelaku di media sosial, tertuduh pelaku akan ramai-ramai di-cancel oleh warganet. Dengan memviralkan kasusnya, harapannya korban bisa mendapat dukungan publik dan menuntut pelaku agar bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Namun pada realitanya, spill the tea justru bisa menjadi pisau bermata dua.

.Ilustrasi kekerasan seksual/ Foto: Freepik

Di satu sisi, mengungkap kasus di media sosial bisa mendesak polisi untuk memproses kasusnya dan memberi tekanan kepada pelaku untuk mengakui perbuatannya. Namun di sisi lain, korban justru bisa mengalami pelecehan untuk yang kedua kalinya. Ketika kasus kekerasan seksual menjadi konsumsi publik    apalagi di ruang yang 'liar' seperti media sosial    ada banyak risiko yang harus dihadapi oleh korban. Beberapa risiko tersebut di antaranya:

  • Disalahkan dan disudutkan atas kejadian yang menimpa mereka (victim-blaming)
  • Data pribadinya disebarluaskan tanpa persetujuan, baik oleh pelaku yang tidak terima di-spill atau oleh netizen yang ingin mencari sensasi
  • Dianggap mencemarkan nama baik tertuduh pelaku sehingga dipaksa meninggalkan jabatan atau posisi di tempat kerja
  • Ancaman pasal karet UU ITE sehingga korban bisa dituntut balik

Meski spill the tea memiliki berbagai risiko, tapi nyatanya metode ini masih dianggap sebagai cara terjitu untuk menghukum pelaku dan mendapatkan keadilan. Oleh karenanya, harus diingat bahwa spill the tea pun justru bisa menempatkan korban dalam posisi yang rentan. Melansir Advokat Gender, ada beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum spill the tea:

.Ilustrasi spill the tea/ Foto: Freepik

Tentukan tujuan yang ingin dicapai melalui spilling
Hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah menentukan tujuan dari mengungkap kasus di media sosial; apakah berniat mendesak polisi untuk mengusut kasusnya? Atau apakah menuntut pertanggungjawaban pelaku? Apapun itu, risiko spill the tea akan semakin besar ketika hal ini dilakukan tanpa tujuan yang jelas.

Utamakan keinginan dan kebutuhan korban
Menyambung poin di atas, tujuan dari spill the tea harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan korban. Sebab yang paling berhak menentukan keadilan seperti apa yang ingin dicapai dari spill the tea adalah korban sendiri. Terkadang, fenomena spill the tea membuat orang-orang fokus menghukum pelaku dan bukan membantu korban.

Melindungi identitas korban
Fenomena spill the tea harus dibarengi dengan sensitivitas terhadap data-data korban, apalagi jika korban tidak ingin identitasnya diketahui publik. Warganet juga harus memiliki kesadaran ini, jangan sampai karena rasa keingintahuan, lalu identitas korban malah terbongkar dan semakin membahayakan keselamatannya.

Analisis risiko psikososial korban
Sebelum mengambil langkah untuk spill the tea, ada baiknya korban atau orang-orang terdekatnya memastikan bahwa korban siap untuk mengungkap kasusnya ke publik. Seperti yang kita ketahui, netizen bisa mendukung korban tapi juga bisa balik menyalahkan korban. Respons publik yang tak pasti ini adalah konsekuensi yang sayangnya harus dilalui oleh banyak korban kekerasan seksual.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS