Insight | General Knowledge

Ramai Bela Negara: Pentingnya Bedakan Nasionalisme dan Chauvinisme

Selasa, 22 Mar 2022 14:00 WIB
Ramai Bela Negara: Pentingnya Bedakan Nasionalisme dan Chauvinisme
Foto: Dzulfahmi Fauzan/Unsplash
Jakarta -

Berkali-kali sudah warga Indonesia menjadi defensif ketika budayanya diklaim oleh negara lain. Beberapa tahun lalu Reog Ponorogo, Batik, dan Rendang sempat memicu konflik karena diklaim oleh warga Malaysia sebagai budayanya. Sementara yang paling baru, beberapa minggu lalu, netizen Indonesia kembali menunjukkan taringnya ketika Indomie diklaim sebagai makanan khas Kuwait dan Nigeria. Pasalnya, Indomie memang laku di pasar Timur Tengah dan memiliki pabrik di sana. Namun netizen Indonesia tentu tak menerima hal ini, dan bersikeras bahwa Indomie adalah makanan khas Indonesia.

Warga Indonesia tak hanya posesif atas budaya yang dianggap sebagai miliknya. Mereka juga tak terima apabila merasa diperlakukan tak adil atau menerima kritikan dari negara lain. Salah satu contohnya adalah ketika netizen menyerang media sosial Badminton World Federation (BWF) setelah Indonesia dipaksa mundur dari All England 2021. Diskualifikasi ini disebabkan oleh ditemukannya kasus positif COVID-19 pada penerbangan yang membawa tim bulu tangkis Indonesia. Netizen pun langsung membanjiri media sosial BWF dengan protes dan tagar #JusticeforIndonesia dan #BWFMustBeResponsible.

Terkadang saya tak tahu harus bangga, takjub, atau malu dan bingung terhadap nasionalisme tinggi yang dimiliki warga Indonesia. Pasalnya, ketika warga Indonesia membela negaranya, mereka sering kali merendahkan negara lain dan tak jarang berperilaku rasis. Misalnya, akun media sosial badan pariwisata Vanuatu menjadi sasaran komentar netizen Indonesia bernada rasis. Serangan ini terjadi setelah Vanuatu mengkritik Indonesia atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua di Sidang PBB. Netizen menyebut Vanuatu sebagai negara "miskin", anak-anaknya "kurang gizi", dan menghina pakaian adat Vanuatu.

Tentu saja penting bagi kita untuk memiliki jiwa nasionalis, sebab nasionalisme menggambarkan rasa cinta dan kesetiaan kita terhadap negara. Nasionalisme pun sering disamakan dengan sikap patriotik. Namun, nasionalisme juga bisa menjadi senjata ketika rasa cinta kita terhadap negara digunakan untuk memandang bangsa lain lebih rendah dan inferior. Ketika kita merasa lebih superior dibanding negara lain, ketika itulah nasionalisme telah berubah menjadi chauvinisme.

Dikutip dari Merriam-Webster, Chauvinisme merupakan sikap patriotik yang berlebihan. Ia merupakan fanatisme yang tumbuh dari identitas kenegaraan, sehingga memunculkan rasa lebih unggul dari negara lain. Fanatisme ini melahirkan kesetiaan yang ekstrem dan buta, tanpa mau membuka mata dan telinga terhadap perspektif lain. Chauvinisme adalah bentuk toksik nasionalisme yang harus dihindari dan ditolak.

Seseorang yang memiliki fanatisme buta terhadap negaranya, akan bersikap denial terhadap segala macam realita buruk dan kekurangan yang terjadi di negaranya. Kita juga harus mengingat, rasa superior akan identitas negara lah yang mendorong berbagai peristiwa mengerikan seperti penjajahan, genosida, dan perang. Sah-sah saja mengekspresikan kecintaan kita terhadap negara. Tetapi tidak ada salahnya untuk berefleksi apakah ekspresi tersebut adalah bentuk cinta yang nyata atau fanatisme buta.

Lagipula, ada banyak cara untuk menjadi nasionalis. Misalnya, menggunakan kendaraan umum untuk mengurangi polusi udara atau mendukung musisi-musisi lokal dengan membeli album asli, bukan bajakan. Meski sederhana, hal-hal ini bisa menjadi bentuk kepedulian kita terhadap negara. Apabila bentuk nasionalisme kita hanya ditunjukkan melalui sikap defensif dan superior, mungkin sudah waktunya kita merefleksikan ulang nasionalisme seperti apa yang sebenarnya kita anut.

[Gambas:Audio CXO]



(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS