Insight | General Knowledge

Mengapa Kita Masih Temukan Arsip Pribadi Jadi Bungkus Makanan?

Rabu, 26 Jan 2022 10:00 WIB
Mengapa Kita Masih Temukan Arsip Pribadi Jadi Bungkus Makanan?
Foto: Billi Okta
Jakarta -

Dari sekian banyak jenis kertas pembungkus di dunia, entah mengapa, lembaran dokumen pribadi adalah kertas yang paling sering digunakan sebagai pembungkus gorengan di Indonesia. Sejak bertahun lalu, masyarakat Indonesia banyak menemukan dokumen-dokumen pribadi yang malah dipakai sebagai alat pembukus makanan. Yang paling baru adalah beredarnya surat permohonan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sementara milik mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, di Twitter, yang diketahui sebagai kertas pembungkus gorengan.

Sebagai makanan ekonomis pilihan rakyat, gorengan memang sering kali dibungkus menggunakan kertas-kertas bekas atau kertas fotocopy-an yang tidak lagi terpakai. Tidak jarang, kertas bekas atau salinan-salinan tersebut justru berisi data yang privat atau bahkan rahasia. Selain surat pengajuan identitas sementara Ibu Susi -yang memuat data pribadinya- tersebar, sejumlah dokumen negara yang rahasia seperti lembaran soal Ujian Nasional, Ijazah Perguruan Tinggi, sampai Kartu Keluarga juga banyak ditemukan pada kertas-kertas pembungkus makanan.

Hal ini seharusnya lebih diperhatikan oleh pihak berwenang, mengingat data-data pribadi seseorang atau suatu instansi yang bernilai rahasia. Tidak bisa tersebar begitu saja di masyarakat apalagi menjadi pembungkus makanan.

Susi Pudjiastuti sebagai pihak yang kali ini dirugikan, lewat Twitter pribadinya Susi menulis, "Saya harus berpendapat apa? Hal seperti ini bukannya sudah biasa terjadi? Protes kemana? ke siapa? setiap hari kita dapat WA Pinjol, investasi, promo dll.. semua tahu nomor kita data kita.. so (emoji sedih, geram, bingung, cemas)."

Nada kebingungan dan pasrah dari sang eks menteri tersebut dapat disebut sebagai suatu hal yang ironis. Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana bisa data yang sangat pribadi bisa tersebar luas dan disalahgunakan?

Jika kita mencoba melihat dari sisi para penjual makanan di Indonesia, kebanyakan dari mereka memanfaatkan kertas bekas sebagai bahan pembungkus makanan karena harganya terbilang murah dan dapat diperoleh dengan mudah dari para peloak kertas-kertas bekas. Namun tetap saja, kertas bekas yang memuat salinan data kependudukan sebagai bungkusan makanan; atau kertas ijazah, bahkan akta nikah sebagai pembungkus gorengan bukanlah hal yang bisa dibenarkan dan dibiarkan begitu saja.

Selama ini, kejadian-kejadian seperti di atas telah terjadi berulang-ulang dan tanpa ada solusi yang nyata. Padahal jika kita melihat aspek hukum, perlindungan terhadap data pribadi di Indonesia sebenarnya sudah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Melalui Undang-undang Pasal 8 ayat (1) huruf e UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan Pasal 79 ayat (1), Pemerintah Indonesia menerbitkan aturan perihal keterjaminan rahasia dan keamanan data kependudukan; serta menyatakan bahwa data perseorangan dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi kerahasiaannya oleh negara.

Lebih jauh lagi, UU Adminduk tersebut bahkan sudah mengatur sejumlah sanksi dan denda bagi mereka yang sengaja menyebarluaskan, mencetak, atau menerbitkan dokumen data kependudukan. Dalam Pasal 95A dan Pasal 96, termuat sanksi penjara paling lama 2 tahun dan atau denda Rp25 juta serta sanksi penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar kepada pihak yang menyebarluaskan dokumen berisi data kependudukan secara sengaja. Hal yang sangat disayangkan adalah, sampai saat ini peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah tersebut masih belum efektif dan terbilang lemah.

Menanggapi maraknya kasus kebocoran data kependudukan secara offline, beberapa pihak termasuk Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan dokumen pribadi berbasis daring. Keputusan ini pun disambut dengan baik, karena jika semua berbasis digital, maka kasus dokumen pribadi yang menjadi pembungkus makanan dapat berkurang. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia tengah melakukan transisi KTP-el yang sekarang ada dengan KTP digital yang sepenuhnya berbasis virtual, sehingga tidak ada lagi blangko fisik.

Hal ini memang suatu inovasi yang mencerahkan, namun begitu, regulasi yang diterapkan pada kebijakan ini perlu ditingkatkan lebih lanjut karena kebocoran data digital pernah terjadi di Indonesia dan terbukti lebih berbahaya daripada data offline, seperti halnya dokumen pribadi yang menjadi bungkus gorengan. Negara-negara Uni Eropa yang telah lebih dulu menggunakan cara ini, nyatanya memiliki regulasi General Data Protection Regulation atau GDPR untuk melindungi privasi, termasuk perlindungan data pribadi yang terbilang ketat dan meminimalisir tingkat kebocoran data yang membahayakan.

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan pengguna internet dan populasi terbesar di dunia, sudah seharusnya memiliki regulasi yang tegas mengenai perlindungan data pribadi. Apalagi, selama masa pandemi, kasus pencurian data digital di Indonesia mulai marak dan membahayakan. Mengutip dari detik.com, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengungkap terdapat tujuh kasus pencurian data yang menyita perhatian publik selama pandemi COVID-19. Kasus-kasus tersebut bahkan melibatkan e-commerce kenamaan asal Indonesia dan beberapa BUMN . Kasus pencurian yang terjadi tersebut, ironisnya, belum juga membuat Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) rampung dibahas.

[Gambas:Audio CXO]

(cxo/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS