Insight | General Knowledge

Pertamats: Akhir Perjalanan Premium dan Pertalite?

Kamis, 27 Jan 2022 12:00 WIB
Pertamats: Akhir Perjalanan Premium dan Pertalite?
Foto: RIFKIANTO NUGROHO DETIK
Jakarta -

Pada penghujung tahun 2021-di mana Pandemi COVID-19 belum juga berakhir, isu penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, Premium, kembali menjadi topik hangat ekonomi Nusantara. Setelah lama timbul-tenggelam di masyarakat, wacana penghapusan bahan bakar murah ini tampaknya akan segera terealisasi pada tahun 2022 mendatang.

Menteri ESDM Arifin Tasrif, mengatakan bahwa penghapusan Premium (dan juga Pertalite) bertujuan "untuk memperbaiki kualitas bahan bakar dan mengurangi emisi karbon". Oleh karena itu, demi mengurangi dampak buruk bagi lingkungan yang berkepanjangan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan untuk menggunakan BBM tipe euro 4 atau yang memiliki Research Octane Number (RON) minimum 91.

Beberapa pihak yang berkepentingan juga mengungkap bahwa keputusan itu diambil demi mengatasi masalah kadar emisi Karbon Monoksida (CO2) yang menjadi penyebab tercemarnya udara. Dilansir dari Migas ESDM, perubahan penggunaan Bahan Bakar Minyak dari Premium dan Pertalite ke Pertamax sendiri disebut dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 27 persen. Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah telah menyiapkan roadmap demi segera menggantikan Premium dan Pertalite--yang hanya bernilai oktan 88 dan 90, dengan bahan bakar yang memenuhi kadar RON ramah lingkungan seperti Pertamax (92) dan Pertamax turbo (98).

Skema penggantian bahan bakar Premium dan Pertalite menuju Pertamax telah disiapkan--atau bahkan telah dijalankan--oleh Pemerintah Indonesia. Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Soerjaningsih mengatakan, saat ini Indonesia mulai memasuki masa transisi BBM RON 90 menuju BBM yang lebih ramah lingkungan. "Kita memasuki masa transisi di mana premium akan digantikan dengan Pertalite, sebelum akhirnya kita akan menggunakan BBM yang ramah lingkungan."

Skema penggantian konsumsi BBM tersebut disinyalir akan dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah mengurangi distribusi Premium dan mendorong masyarakat menggunakan Pertalite, Pertamax atau Pertamax Plus; tahapan yang kedua adalah membatasi Premium dan mengurangi Pertalite untuk meningkatkan daya guna Pertamax dan Pertamax Plus; dan langkah terakhir, yaitu hanya menjual Pertamax dan Pertamax Plus di SPBU.

Jika memang skema ini telah dilangsungkan, akankah tahun 2022 akan menjadi akhir perjalanan panjang BBM bersubsidi, Premium, di Indonesia? Selain itu, bagaimana nasib Pertalite, yang kini menjadi bahan bakar utama masyarakat?

Apa yang akan terjadi karena kebijakan ini?

Merujuk data Pertamina per bulan Oktober 2021, penjualan Premium sendiri hanya menunjukkan kontribusi sebesar 2 persen dibandingkan total penjualan BBM perseroan. Sementara kontribusi terbesar penjualan BBM ditempati oleh Pertalite dengan porsi sebesar 50 persen, disusul gas oil (diesel/solar) senilai 33 persen, kemudian Pertamax (92) 13 persen, dan yang terakhir Pertamax Turbo dengan capaian 1 persen.

Berdasarkan data di atas, dapat kita ketahui bahwa Premium bukan lagi primadona BBM masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, penghapusan BBM jenis ini mungkin saja tidak begitu mempengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat di sektor lainnya. Fithra Faisal dari Universitas Indonesia, bahkan mengatakan bahwa dirinya setuju dengan wacana penghapusan Premium mengingat subsidi bagi BBM tersebut "membebani anggaran."

"Kalau Premium sih oke, karena selama ini membebani anggaran, bahkan dalam beberapa kasus justru menimbulkan penyelundupan di pasar karena ada celah antara harga domestik dengan harga di luar negeri," kata Fithra. Sementara itu, jika rencana penghapusan Pertalite juga akan terealisasi pada 2022 mendatang, rasanya hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan di beberapa sektor ekonomi masyarakat mengingat Pertalite merupakan bahan bakar yang saat ini paling banyak digunakan.

Oleh karena itu, rencana penghapusan Premium dan Pertalite ini diharapkan tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, karena daya beli masyarakat--khususnya menengah ke bawah, memerlukan penyesuaian saat beralih ke BBM yang lebih mahal seperti Pertamax. Pergantian atau kenaikan BBM di Indonesia memang merupakan isu yang cukup sensitif. Pasalnya, kenaikan harga bahan bakar sering kali dapat berpengaruh signifikan terhadap kenaikan harga pada sektor-sektor lainnya seperti pangan dan transportasi.

Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Mohammad Faisal, direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. Faisal menyatakan bahwa "dampak tidak langsungnya itu harga pangan akan lebih mahal, karena harga pangan ini sangat sensitif terhadap harga BBM, dan biasanya [kenaikan] harga BBM akan menaikkan inflasi untuk komponen transportasi. Yang kedua, itu juga akan menaikkan inflasi untuk komponen bahan pangan. Ia juga menambahkan "Jadi masyarakat akan lebih diberatkan, bukan hanya dari harga BBM yang mahal, tapi harga barang-barang pangan, harga kebutuhan pokok yang juga lebih mahal," imbuhnya.

Faisal juga menyebut jika kesuksesan rencana penghapusan kedua jenis BBM tersebut tergantung pada timing. Apabila penggunaan Pertamax dilakukan sekarang, hal ini justru akan menjadi bumerang bagi program pemerintah lainnya seperti Pemulihan Ekonomi Nasional, atau PEN.

"Kalau kebijakan ini keluar, harga BBM yang bisa dijangkau masyarakat, itu makin lama makin naik, yang terjadi justru kontraproduktif kepada upaya pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat justru malah digerogoti. "Di sisi lain ada PEN, di mana bansos, bantuan langsung tunai, yang [diberikan] justru [karena] ingin menaikkan daya beli masyarakat Jadi timing-nya tidak tepat. Alasannya [Pertamina] adalah karena ada program langit biru, yang lebih ramah lingkungan, namun saya rasa timing-nya tidak sekarang," jelas Mohammad.

Seperti yang kita ketahui bersama, perekonomian Indonesia memang bisa dibilang tidak dalam kondisi baik-baik saja-mengingat kondisi Pandemi COVID-19 yang tidak kunjung mereda. Meskipun begitu, setelah melakukan beberapa upaya penyesuaian kebijakan demi mengembalikan stabilitas perekonomian, belakangan ini status perekonomian Indonesia disebut berangsur membaik meskipun kembali dianggap terancam perkara wacana pergantian bahan bakar utama yang sekarang terjadi.

Catatan kenaikan BBM subsidi menurut sejarah

Terlepas dari fluktuasi kestabilan ekonomi negara selama masa Pandemi COVID-19, rasanya wacana penghapusan BBM bersubsidi, Premium, dan juga Pertalite pada tahun 2022 mendatang, mungkin saja menciptakan gejolak sosial-ekonomi masyarakat. Selisih harga yang cukup besar antara Premium (Rp 6.450) dan Pertalite (Rp 7.650) dengan Pertamax (Rp 9.000) dan Pertamax Turbo (Rp 12.000) disebut sebagai masalah yang cukup mengkhawatirkan masyarakat menengah ke bawah.

Apa lagi jika kita menilik catatan sejarah, perubahan harga dan kebijakan BBM bersubsidi beberapa kali menghasilkan pro-kontra dan ketidakstabilan di kalangan masyarakat. Salah satu yang paling berdampak menurut sejarah terjadi pada akhir masa Pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998).

Pada tepian akhir kekuasaan 32 tahun Orde Baru tersebut, krisis ekonomi yang menerpa Indonesia memaksa Presiden Soeharto menaikkan harga BBM sebesar Rp 500 per liter. BBM subsidi, Premium, beranjak dari Rp 700 menjadi Rp 1.200 per liter pada 5 Mei 1998. Akibatnya, terjadi kenaikan-kenaikan pada nilai jual bahan-bahan pokok lainnya dan menyulut gelombang protes masyarakat dan mahasiswa, sehingga melengserkan Soeharto dari kursi Presiden pada bulan dan tahun yang sama.

Sejak awal kepemimpinan Presiden Soeharto, peningkatan harga BBM bersubsidi telah beberapa kali dilakukan. Bermula dari angka Rp 150 per liter di tahun 1980, harga Premium naik ke angka Rp 550 tahun 1991, dan Rp 700 per liternya pada tahun 1993. Kemudian harga semakin meninggi di tahun 1998 senilai Rp 1.200 per liter. Beralih ke era Reformasi, harga BBM kembali turun menjadi Rp 1.000 per liter oleh pengganti Soeharto, Presiden BJ Habibie.

Seiring bergantinya kepemimpinan Presiden di Indonesia, harga BBM bersubsidi hingga saat ini terus mengalami kenaikan dan penurunan. Pada masa Gus Dur menjabat, harga Premium kembali turun ke angka Rp 400 per liter sebelum naik menjadi Rp 600, Rp 1.150, dan Rp 1.450 per liter di akhir kepemimpinan Gus Dur tahun 2001 lalu. Pada masa kepemimpinan Presiden Megawati di tahun 2002-2003, harganya melambung dua kali menjadi Rp 1.550 dan Rp 1.810 per liter.

Setelah itu, di zaman Pemerintahan Presiden SBY 2004-2014, harga Premium yang awalnya Rp 1.810 berubah menjadi Rp 2.400, Rp 4.500 dan meninggi ke angka Rp 6.000 per liter pada awal Tahun 2008. Walaupun beberapa kali menaikkan harga, SBY juga tercatat kembali menurunkan harga Premium menjadi Rp 5.500 di akhir Tahun 2008; Rp 5.000 di Tahun 2009 dan terjun ke angka Rp 4.500 per liter pada Tahun 2013. Di akhir era kepemimpinannya, SBY kembali menaikan harga BBM subsidi menjadi Rp 6.500 per liter.

Di masa Presiden Jokowi yang saat ini menjabat, harga Premium yang pernah tembus ke angka Rp 8.500 per liter di awal kepemimpinannya, terus mengalami serangkaian naik-turun sampai akhirnya bertahan di angka Rp 6.450 per liter sejak April 2016 hingga sekarang. Selain melakukan serangkaian penyesuaian harga, Presiden Jokowi (pada 2015 lalu) juga menyampaikan niatnya untuk menggantikan bahan bakar Premium--dan Pertalite--dengan jenis lain yang lebih ramah lingkungan seperti Pertamax.

Meskipun sejatinya penggunaan bahan bakar ramah lingkungan adalah hal yang baik untuk dilakukan dengan segera, momentum pergantiannya dianggap beberapa pihak belum menyesuaikan dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat. Alih-alih mengedepankan penggunaan bahan bakar yang ramah terhadap lingkungan, wacana ini justru dilihat Direktur dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, sebagai upaya ekonomis untuk melakukan penghematan akibat membengkaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melalui salah seorang pimpinannya, Dwi Sawung, menanggapi isu ini "lebih dipengaruhi dengan motif ekonomi yang dibungkus alasan lingkungan". Situasi perbaikan ekonomi saat ini memang dianggap bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan penggantian bahan bakar bersubsidi ke arah yang lebih ramah lingkungan, mengingat ketergantungan masyarakat masih sangat tinggi dengan bahan bakar jenis Pertalite-yang harganya jauh lebih murah dari Pertamax.

Pada akhirnya, jika memang Pertamax diproyeksikan sebagai pengganti Premium dan Pertalite sebagai upaya perbaikan lingkungan, pemerintah rasanya juga patut menerapkan kebijakan yang sama terhadap pelaku sektor industri. Sebab menurut Climate Transparency Report 2020, sektor transportasi sebenarnya bukan penyumbang emisi karbon terbesar, melainkan sektor industri. Gas karbon yang dihasilkan oleh sektor transportasi memang terbilang cukup besar, yakni 27 persen, namun angka tersebut tidak lebih besar dari yang dihasilkan oleh sektor industri, dengan sumbangan gas emisi sebesar 37 persen.

Terlepas dari segenap pertimbangan dan kemungkinan alasan yang ada, angin segar bagi permasalahan ini justru hadir belakangan. Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memastikan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite akan tetap dijual dan tidak dikurangi. Menurutnya, Pertalite menopang 80 persen penjualan BBM Pertamina, sedangkan Premium kontribusi penjualannya sangat kecil sehingga wacana penghapusan BBM jenis ini mengemuka. Ahok menyatakan "Tetap dijual dan tidak dikurangi kalau Pertalite. Subsidi bisa beralih ke Pertalite. Itu yang seharusnya jika subsidi BBM."

Sampai pada titik ini, segala kemungkinan memang masih bisa terjadi -terkait kebijakan penggantian Premium dan Pertalite menjadi Pertamax. Tetapi setidaknya, masyarakat sebaiknya mulai mengantisipasi segala kemungkinan akibat dari kebijakan ini, sementara di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga diharapkan dapat mempertimbangkan kebijakan ini dengan lebih bijaksana, agar tidak terjadi kegaduhan sosial-ekonomi di kalangan masyarakat.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/MEL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS