Insight | Business & Career

In This Economy: Paylater Penyelamat atau Jerat Finansial?

Rabu, 17 Sep 2025 14:00 WIB
In This Economy: Paylater Penyelamat atau Jerat Finansial?
Ilustrasi menggunakan paylater. Foto: iStock
Jakarta -

Ada satu frasa yang belakangan sering muncul di timeline media sosial saya: 'in this economy'. Ini adalah ungkapan satir, merujuk pada kondisi ekonomi saat ini yang serba tidak pasti.

Harga-harga makin mahal, tetapi pendapatan jalan di tempat sehingga banyak dari kita sulit untuk sekadar bertahan, apalagi mewujudkan gaya hidup yang ideal. Ketika masyarakat butuh solusi cepat untuk masalah tersebut, buy now pay later (BNPL) hadir ke panggung utama.

Ya, paylater menjadi jawaban instan bagi banyak kebutuhan. Mau beli kopi? Tinggal bayar pakai paylater. Perlu ganti HP karena rusak? Ada paylater. Tagihan mendesak di depan mata, tapi belum gajian? Paylater juga bisa menalangi dananya terlebih dahulu. Semua semudah menekan tombol 'Bayar'.

Namun, di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit, apakah paylater benar-benar hadir sebagai penyelamat atau justru berpotensi menjadi jerat finansial yang diam-diam kita ciptakan sendiri?

Evolusi Paylater

Pengalaman pertama saya pakai paylater sekitar lima tahun lalu. Waktu itu, syaratnya masih lumayan ribet. Selain KTP, pengguna masih perlu memenuhi nominal gaji tertentu, syarat domisili di kota besar, bahkan ada yang mengharuskan bayar uang muka untuk mencicil sesuatu.

Kondisi itu sangat kontras dengan sekarang. Hampir semua aplikasi fintech, e-commerce, hingga bank digital kini menawarkan fitur BNPL. Proses aktivasinya pun mudah dan kilat, hanya dalam hitungan jam atau menit.

Kemudahan ini tentu punya dampak masif. Menurut Laporan Perilaku Pengguna PayLater Indonesia 2024, paylater telah menjadi akses kredit pertama bagi 68% penggunanya. Itu berarti, paylater berhasil mendemokratisasi akses kredit yang dulu terasa eksklusif untuk kalangan menengah ke atas saja.

Apakah paylater saat ini diperuntukkan bagi orang-orang yang kesulitan finansial? Pada kenyataannya, tidak. Laporan yang sama menunjukkan bahwa mayoritas penggunanya berasal dari kelompok usia produktif. Milenial (26-35 tahun) mendominasi dengan porsi 43,9%.

Lebih menarik lagi, pengguna di kelompok umur 18-35 tahun rata-rata mengalokasikan 6-6,4% dari pendapatan bulanan mereka untuk bertransaksi menggunakan paylater. Data ini menunjukkan bahwa pengguna paylater bukanlah mereka yang kesulitan finansial, melainkan demografi produktif yang sebenarnya punya daya beli. Masalah utamanya bukan lagi tidak punya uang, tetapi tentang manajemen dan perilaku finansial.

Dua Sisi Paylater

Data dari laporan tersebut menyebutkan alasan utama kebanyakan orang menggunakan paylater adalah untuk memenuhi kebutuhan mendesak (58%), mendapatkan promo menarik (45%), dan belanja dengan cicilan (52%). Jadi, sebenarnya paylater bisa sangat membantu.

Saya tidak munafik. Paylater berkali-kali menyelamatkan saya. Sebagai contoh, saat ponsel mendadak rusak padahal fungsinya sangat penting untuk pekerjaan, fasilitas BNPL menjadi penyelamat di tengah bulan.

Kadang-kadang, mencicil memang dapat meringankan cash flow bulanan, terutama untuk pembelian barang produktif. Misalnya, membeli ponsel baru untuk kerja bisa menghasilkan uang tambahan sehingga dalam skenario ini, cicilan jadi seperti investasi, bukan beban konsumtif.

Manfaat lain yang tak terbantahkan adalah promo. Baru bulan lalu saya memanfaatkan ini. Belanja bulanan di minimarket dekat rumah pakai salah satu aplikasi paylater, saya dapat diskon 50%. Setelah transaksi berhasil, tagihannya langsung saya lunasi saat itu juga. Lumayan, pengeluaran jadi lebih irit.

Kemudahan transaksinya juga jadi nilai plus. Cukup scan QRIS atau pilih paylater sebagai metode pembayaran di e-commerce, semua beres dalam hitungan detik. Di sisi lain, paylater juga bisa menciptakan lingkaran utang yang berbahaya. Itulah penyebab sebagian besar pendapatan langsung ludes untuk membayar total tagihan. Gaji hanya numpang lewat.

Skala masalahnya tidak main-main. Mengutip CNN Indonesia, OJK menyebutkan bahwa total utang paylater masyarakat Indonesia sudah tembus Rp31 triliun per Juni 2025. Angkanya naik 29,75% year on year dari tahun 2024. Apakah kondisi finansial seseorang menjadi penyebab utama kenaikan kredit paylater?

Faktornya bukan cuma dari sisi finansial. Ada efek psikologis di balik fitur BNPL, yaitu kemampuannya menghilangkan pain of paying. Lantaran pembayarannya dipecah menjadi cicilan-cicilan kecil per bulan, rasa 'nyesek' saat bertransaksi jadi berkurang. Inilah yang akhirnya mendorong perilaku konsumtif berlebihan.

Beberapa orang bahkan sampai mengaktifkan paylater di berbagai aplikasi demi mendapatkan limit gabungan yang besar. Tanpa sadar, sebenarnya dia sedang menumpuk bom waktu utang yang siap meledak kapan saja.

Tips Menggunakan Paylater

Paylater hanya alat, seperti halnya pisau yang bisa digunakan untuk memasak atau melukai. Kuncinya ada di tangan kita sebagai pengguna. Supaya tidak terjebak dalam jerat finansial in this economy, berikut beberapa tips yang bisa kita terapkan bersama:

  1. Ubah Mindset
    Pertama, bagaimanapun, paylater tetaplah utang, bukan penghasilan tambahan. Limit besar dari aplikasi bukanlah uang kita. Tanamkan ini dalam pikiran sebelum melakukan setiap transaksi.

  2. Prinsip 30%
    Elizabeth Warren, seorang senator Amerika Serikat yang ahli manajemen keuangan pribadi punya metode populer terkait pembagian gaji bulanan, yaitu 50/30/20. Dalam metode ini, sekitar 30% dari pendapatan dialokasikan untuk keinginan termasuk pembayaran utang dan tagihan. Jadi, pastikan total semua tagihan paylater tidak melebihi 30% gaji bulanan. Jauh lebih kecil, tentu lebih baik.

  3. Satu untuk Semua
    Penyedia layanan paylater di Indonesia saat ini ada puluhan. Meski demikian, hindari mengaktifkan dan menggunakan banyak akun di berbagai aplikasi karena hanya akan membuat tagihan kita tercecer, sulit dilacak, bahkan bisa memberikan ilusi bahwa kita punya dana tak terbatas.

  4. Manfaatkan untuk Kebutuhan Penting
    Selanjutnya, manfaatkan paylater untuk membeli barang yang benar-benar kita butuhkan atau sudah direncanakan. Jika untuk keinginan semata, pastikan membelinya karena ada promo signifikan yang membuat harganya lebih murah. Sebisa mungkin jangan melakukan pembelian impulsif menggunakan paylater.

  5. Selalu Bayar Tepat Waktu
    In this economy, fenomena gagal bayar (galbay) pinjaman online makin marak terjadi. Padahal, jika meminjam, membayar adalah kewajiban, bukan? Selain itu, galbay juga punya sejumlah risiko. Di samping denda yang akan terus membengkak, catatan kredit pun jadi buruk, yang mana itu merugikan kita di masa depan. Akibatnya, pengajuan KPR, kredit kendaraan, atau pinjaman modal usaha bisa ditolak karena riwayat kredit di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK sudah tercoreng.

Kesimpulannya, paylater punya dua sisi. Solusi ini bisa mempermudah hidup, di sisi lain juga bisa menjerumuskan kita ke masalah finansial apabila menggunakannya tanpa disiplin dan rasa tanggung jawab.

Di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit, kita memang butuh kemudahan untuk bertahan. Paylater mungkin salah satu solusi yang bisa diandalkan. Namun, pastikan kita yang memegang kendali, bukan sebaliknya.


Penulis: Bagas Dharma
Editor: Dian Rosalina


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS