Insight | Business & Career

Siapa yang Berhak Takut Pekerjaannya Digantikan oleh AI?

Jumat, 18 Jul 2025 17:30 WIB
Siapa yang Berhak Takut Pekerjaannya Digantikan oleh AI?
Ilustrasi manusia akan digantikan oleh AI dalam hal pekerjaan esensial. Foto: Shutterstock
Jakarta -

Beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah video dari content creator bernama Noyse yang menceritakan pengalaman pribadinya kehilangan pendapatan dari bisnis desain cover karena kliennya beralih menggunakan AI. Sebagai penulis konten, saya pun merasakan kecemasan yang sama dengan kenyataan pahit yang dialami Noyse   bukan untuk sekarang, tetapi dalam beberapa tahun ke depan.

Faktanya, sebuah survei di Amerika Serikat menunjukkan 45% perusahaan telah mengadopsi AI sejak 2022 dengan tujuan utama mengurangi jumlah karyawan. Pada tahun 2025, otomatisasi bahkan menjadi fokus utama investasi kebanyakan organisasi di kawasan Asia Pasifik menurut IBM.

Hal ini membuktikan bahwa ancaman AI bukan hanya dirasakan oleh para kreator, melainkan juga pekerja di berbagai industri. Akselerasi perkembangannya yang begitu cepat, penggantian pekerjaan manusia dengan AI secara masif mungkin memang akan segera terjadi 5-10 tahun ke depan.

Lantas, siapa yang paling berhak takut pekerjaannya digantikan oleh AI? Apakah semua orang perlu khawatir, atau mestinya senang dengan kehadiran AI yang bisa memudahkan pekerjaan?

Antara AI dan Efisiensi: Fakta di Lapangan

Ketika melakukan riset untuk menulis artikel ini, jujur saya terkejut membaca berita-berita tentang besarnya gelombang PHK karyawan akibat AI. Bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi di berbagai negara. Banyak perusahaan, terutama startup dan sektor digital, mulai menerapkan AI untuk menghemat biaya operasional mereka. Pekerjaan administratif, support, dan konten menjadi target otomatisasi.

Mengutip CNBC Indonesia, data-data berikut menunjukkan fakta di lapangan saat ini, Pertama, sepanjang 2023-2024 terdapat lebih dari 260.000 pekerja di sektor teknologi kehilangan pekerjaan. Lalu pada 2025, gelombang PHK masih berlanjut, terutama di AS, yang menyumbang 50% PHK global.

Perusahaan seperti Amazon, Meta, Alphabet, dan Microsoft termasuk kontributor utama PHK. Bahkan DBS berencana memangkas 4.000 karyawan dalam tiga tahun untuk digantikan dengan AI. Saking peliknya, masalah ini sampai menjadi salah satu pembahasan utama laporan World Economic Forum (WEF) yang dirilis pada awal tahun 2025.

Dalam laporan tersebut, disebutkan ada 92 juta pekerjaan akan hilang antara 2025-2030. Sebagian besar karena terdampak oleh otomatisasi dan adopsi teknologi AI. Industri paling terdampak adalah IT, media, hiburan, keuangan, manufaktur, transportasi, hingga logistik.

Namun, kabar baiknya tidak semua pekerjaan sama rentannya. Kesalahpahaman umum yang terjadi di masyarakat saat ini adalah anggapan "AI akan menggantikan semua pekerjaan manusia." Di balik berita-berita negatif yang menyebut AI agen disruptif, ternyata banyak perusahaan yang justru mendorong karyawan mereka memanfaatkan AI supaya lebih produktif.

Di sisi lain, pemanfaatan AI sebenarnya juga memberikan keuntungan signifikan bagi perusahaan. Sebagai contoh, mengklaim berhasil meningkatkan 87% waktu penyelesaian pekerjaan dengan anggaran lebih hemat 25% berkat integrasi AI. Kendati demikian, pergeseran akibat AI itu nyata dan sudah tidak terhindarkan.

Ada tipe pekerja yang pasti tergantikan dan ada pula yang akan dibutuhkan. Pertanyaannya sekarang: kamu termasuk tipe pekerja yang mana?

.Ilustrasi pekerjaan yang digantikan oleh AI./ Foto: Shutterstock

Tipe Pekerja yang Rentan Digantikan oleh AI

Seiring adopsi AI yang makin meluas di berbagai industri, beberapa tipe pekerja dengan kriteria seperti berikut ini lebih berisiko terdampak perubahan:

1. Pekerja dengan Skill Rata-Rata yang Cuma Jadi Operator

Kalau kamu bekerja sebagai seorang staf yang setiap hari cuma menyalin angka ke spreadsheet dan mengirim laporan rutin ke atasan, kamu patut khawatir. Pekerjaan tersebut tidak salah, tetapi di dunia yang bergerak cepat, perangkat lunak bertenaga AI bisa melakukannya dalam hitungan detik-tanpa lelah, tanpa perlu jeda makan siang.

2. Pekerja yang Tidak Memiliki Keunggulan Kompetitif Unik

Pekerja perlu memiliki skill tambahan yang menjadi keunggulan kompetitif. Di industri memang ada tipe pekerja generalis. Mereka menguasai banyak hal, tetapi tidak secara mendalam. Seorang generalis mungkin dibutuhkan, tetapi saat ini kamu perlu mengimbangi itu dengan spesialisasi.

Sebagai contoh, ketika talent pool penulis konten sangat padat, kamu bisa menonjolkan diri dengan menunjukkan spesialisasi topik, misalnya penulis khusus Web3. Intinya, kuasai skill yang sulit direplikasi dan butuh waktu bertahun-tahun untuk dikuasai. Apabila pekerjaanmu bisa dengan mudah digantikan oleh siapa saja tanpa pelatihan khusus atau ciri khas tertentu, maka kamu seperti sedang berdiri di tepi jurang. Di masa depan, kamu akan menghadapi kesulitan.

3. Pekerja yang Tidak Pernah Mau Reskilling

Pekerja yang menolak belajar hal baru dan memilih zona nyaman juga berhak takut pekerjaannya digantikan oleh AI. Teknologi terus berkembang, tetapi jika kamu tetap menggunakan software lama, menolak pelatihan, atau enggan mencoba hal baru, lama-lama kamu akan jadi seperti smartphone keluaran lama. Bisa dipakai, tetapi sudah tidak kompatibel dengan sistem baru.

4. Pekerja yang Pakai AI Tanpa Menguasai Skill Dasar

Setelah bergabung dengan grup-grup seputar AI, saya menyadari satu hal: tidak semua pengguna AI paham dengan apa yang mereka lakukan. Misalnya, ada orang yang membuat artikel SEO dengan AI, tetapi tidak memahami user intent dan cara menerapkan EEAT pada tulisan.

Itulah kenapa AI dan Machine Learning specialists diprediksi menjadi pekerjaan dengan pertumbuhan paling pesat hingga 2030 menurut laporan WEF, bukan sekadar orang yang pakai AI.

5. Pekerja yang Enggan Berkolaborasi dengan Teknologi

AI bukan tren sementara. Teknologi ini sudah menjadi bagian dari keseharian pekerja, bahkan mengubah alur kerja. Bayangkan, jika sebelumnya kamu butuh waktu 30 menit untuk memvalidasi data dari sebuah dokumen yang terdiri dari puluhan halaman, AI dapat membantu kamu melakukan itu dalam 10 detik.

Contoh lain, bagi desainer, dulu perlu menjalankan banyak tahap hanya untuk menghapus background foto. Sekarang, AI memungkinkan hal itu dilakukan dengan sekali klik. Jadi, pekerja yang masih enggan berkolaborasi dengan teknologi sudah pasti akan kehilangan efisiensi pribadi. Organisasi pun mungkin juga akan melihatnya tidak relevan lagi dengan industri.

Strategi Bertahan dan Bertumbuh di Era AI Sebagai Pekerja

Kesimpulannya, di era AI sebaiknya kita mulai mengubah mindset, dari melawan AI menjadi berkolaborasi dengan AI. Kalau hari ini kamu merasa terancam oleh AI, itu bukan akhir. Justru itu sinyal untuk memperluas kemampuanmu.

Sebagai langkah awal, coba lakukan pendekatan berikut. Pahami AI sebagai alat, bukan musuh, pelajari tools yang relevan di bidangmu, bangun kombinasi skill antara domain knowledge dan AI literacy, fokus pada kualitas insight, bukan output semata.

Kemudian upgrade skill yang sifatnya tidak tergantikan: leadership, komunikasi, adaptasi, pemikiran kritis dan jadilah "pengendali" AI, bukan hanya pengguna. Industri saat ini sangat membutuhkan pekerja yang menguasai skill spesifik secara mendalam dengan literasi AI. Jadi, alih-alih takut terhadap AI, mulailah bekerja bersamanya.

Era AI sebenarnya bukan tentang menggantikan manusia, tetapi tentang memberdayakan manusia untuk bekerja lebih cerdas dan efektif. Bagi yang mau beradaptasi, AI bukan ancaman, melainkan katalis pertumbuhan karier.

Penulis: Bagas Dharma

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS