Insight | Business & Career

Diam-Diam Kita Semua Lelah dengan LinkedIn

Rabu, 01 May 2024 11:26 WIB
Diam-Diam Kita Semua Lelah dengan LinkedIn
Diam-Diam Kita Semua Lelah dengan LinkedIn/Foto: Unplash/Souvik Banerjee
Jakarta -

Ketika diterima kerja, apa hal pertama yang kamu ingin lakukan? Kalau jawabannya adalah update status LinkedIn, selamat, kamu telah sepenuhnya menjadi pekerja abad ke-21. Siapa yang mengira, platform jejaring sosial yang dikhususkan untuk urusan profesional ternyata bisa menjadi salah satu media sosial terpopuler. Per 2023, LinkedIn memiliki 900 juta pengguna aktif di seluruh dunia. Bila kamu ingin mencari lowongan kerja, di sinilah tempatnya. Bila kamu ingin berjejaring dengan rekan kerja dan para ahli di industri, di sinilah pusatnya.

Boleh dikatakan, kehadiran LinkedIn cukup revolusioner dalam mengubah bagaimana kita mencari kerja dan berelasi di dunia profesional. Ada masanya, kita hanya mencatut prestasi di dunia kerja dalam resume untuk melamar pekerjaan. Namun sejak LinkedIn meledak, kapan pun bisa menjadi waktu yang tepat untuk "membagikan" pencapaian yang telah diraih. Semuanya hanya untuk satu tujuan: personal branding.

Personal branding dibangun dengan berbagai cara; mulai dari membagikan tips and tricks soal dunia kerja, memberitahu kabar mengenai kenaikan jabatan atau pekerjaan baru, mengunggah sertifikat workshop yang baru selesai dijalani, hingga menulis konten inspirasi penuh motivasi. Pada dasarnya, para pengguna memoles image sedemikian rupa dengan harapan semakin dilirik oleh recruiter.

Tapi dunia LinkedIn yang gemerlap dan penuh profesionalitas memiliki sisi gelap. Apakah kamu pernah merasa anxious saat sedang scrolling LinkedIn? Atau bahkan merasa kewalahan saat linimasa-mu dibanjiri oleh kutipan motivasional dari influencer dunia kerja? Kamu tidak sendirian. Sebab, banyak pengguna LinkedIn yang ternyata mengalami fatigue atau burnout setelah menghabiskan banyak waktu di platform ini. Mengapa demikian?

Toxic Positivity Merajalela di LinkedIn

Salah satu ciri khas LinkedIn adalah platform ini dipenuhi dengan orang-orang yang optimis. Atau mungkin, berpura-pura optimis? Misalnya saja, penulis buku dan host siniar A Bit of Optimism, Simon Sinek, pernah menulis di Linkedin:

"Bekerja keras untuk sesuatu yang tidak berarti bagi kita disebut sebagai stres. Bekerja keras untuk sesuatu yang kita sukai disebut sebagai passion. Mencintai apa yang kita kerjakan adalah sebuah hak, bukan privilese. Jadi pertanyaannya adalah, apakah kamu mencintai pekerjaanmu?"

Mungkin Simon tidak menyadari, bahwa tak semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passion mereka. Tentu saja bisa mencintai apa yang kita kerjakan adalah privilese, dan kutipan motivasional tak akan mengubah hal itu. Unggahan bernada optimis seperti ini banyak ditemukan di LinkedIn, dan hampir semuanya memiliki pesan yang sama; apabila kita bekerja keras, bersabar, dan tetap optimis, niscaya kesuksesan akan datang.

Sikap optimis dan tidak mudah menyerah memang diperlukan. Tetapi, dunia kerja sangat dinamis dan dipenuhi dengan berbagai permasalahan yang tidak hanya bisa diselesaikan dengan optimisme. Toxic positivity yang tumbuh subur di LinkedIn bisa membuat kita merasa bersalah ketika menghadapi masalah dengan emosi negatif. Atau lebih parah, membuat kita merasa lemah. Bekerja itu memang melelahkan, dan terkadang menyebalkan, jadi mengapa kita harus selalu positif?

BERKOMPETISI TANPA HENTI

Media sosial memang membuat kita semakin terjerumus ke dalam social comparison, yaitu kecenderungan untuk terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Tapi di LinkedIn, kompetisinya bukan diukur melalui hal-hal duniawi seperti seberapa bahagianya hidupmu atau ke mana kamu pergi liburan, melainkan keberhasilan dalam aktualisasi diri; seperti seberapa banyak prestasimu dan seberapa tinggi posisimu.

Tapi justru karena itu, LinkedIn bisa membuat kita semakin merasa rendah diri dan tak kompeten, hanya karena melihat unggahan prestasi orang lain. Bahkan, penelitian Marder dkk (2023) menemukan bahwa LinkedIn bisa menyebabkan impostor syndrome di kalangan para penggunanya. Padahal, profil dan konten yang terpampang di LinkedIn bertujuan untuk membangun sebuah citra profesional, dan boleh jadi tidak memberikan gambaran utuh dari karir seseorang.

PERSONAL BRANDING VS KUALITAS KERJA

Di LinkedIn, personal branding adalah segalanya. Hal ini membuat LinkedIn berbeda dari media sosial lain sepreti Instagram dan Twitter, di mana kita masih diperbolehkan untuk menjadi diri sendiri dan perkara personal branding kerap hanya menjadi urusan influencer dan content creator. Sayangnya, personal branding di LinkedIn terkadang membuat kita lupa, bahwa semenarik apapun persona seseorang di platform ini, dunia maya tetap bisa berbeda dengan realita.

Pada akhirnya, yang terpenting adalah kualitas kerja seseorang, dan hal ini tidak akan bisa seratus persen tercerminkan lewat profil LinkedIn. Misalnya, bisa saja influencer yang selama ini kamu idolakan bukan expert yang dihormati di bidangnya, namun pandai dalam membuat konten. Apabila kamu bukan tipe yang mementingkan personal branding, bukan berarti makna dari apa yang kamu kerjakan jadi berkurang. Lagipula, ada orang-orang yang lebih layak untuk memberimu validasi, seperti atasan dan rekan kerja.

Di era yang serba digital dan terkoneksi, jejaring sosial seperti LinkedIn memang sudah menjadi kebutuhan. Apalagi, tidak dapat tidak dapat dimungkiri, Linkedin membuat kita lebih mudah dalam berelasi di dunia profesional dan mencari pekerjaan. Tapi, apabila kamu mulai merasa lelah ketika berselancar di platform ini, mulailah untuk memberi jarak dan membuat batasan.

Salah satu hal yang bisa kamu lakukan untuk memberi jarak adalah dengan membatasi screentime di LinkedIn. Misalnya, dengan hanya membuka platform ini ketika memiliki tujuan yang pasti, seperti ketika ingin browsing lowongan pekerjaan atau berjejaring dengan pelaku industri. Pada akhirnya, semua bergantung kepada bagaimana kita menyikapi platform ini. Sepenting-pentingnya LinkedIn, identitas kita tidak hanya ditentukan oleh profesi dan di mana kita bekerja.

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS