Insight | Business & Career

Transparansi Gaji, Pilihan atau Keharusan?

Sabtu, 12 Mar 2022 16:00 WIB
Transparansi Gaji, Pilihan atau Keharusan?
Foto: Airdone Shutterstock
Jakarta -

Di lingkungan kantor, apa saja yang kamu bicarakan dengan kolegamu? Kalian bisa saja berbagi cerita soal tantangan atau aspirasi dalam bekerja. Atau kalau kalian sudah membangun kedekatan, kalian bisa saja membicarakan hal-hal yang lebih privat seperti kehidupan personal. Tapi, sedekat apapun kalian dengan kolega kalian, topik mengenai nominal gaji nyaris tidak pernah keluar dalam percakapan. Kalau pun harus membicarakan gaji, biasanya kita akan menggunakan bahasa yang halus. Misalnya, bertanya apakah kita sudah puas dengan gajinya atau belum, atau bertanya apakah gajinya sudah di atas UMR atau belum. Tapi untuk nominal gaji sendiri, hampir pasti tidak akan kita ungkapkan.

Persoalan gaji mungkin topik yang sensitif. Ketidakmauan kita untuk membicarakan gaji secara terbuka tak bisa dipisahkan dari norma masyarakat kita yang memandang gaji sebagai topik yang tabu. Sebab, gaji seringkali dianggap mencerminkan posisi seseorang di masyarakat. Misalnya, mereka yang memiliki gaji lebih tinggi kerap dianggap memegang posisi yang penting dan berkontribusi banyak terhadap perekonomian. Akibatnya, besaran gaji bisa membuat seseorang merasa lebih inferior dan insecure.

.Ilustrasi karyawan./ Foto: Charles Deluvio via Unsplash

Gaji sebagai topik yang tabu dibuktikan melaluiĀ penelitian yang dilakukan oleh Zoe Cullen dari Harvard Business School dan Ricardo Perez-Truglia dari University of California tahun 2019. Mereka menemukan bahwa di antara 755 karyawan yang mereka teliti, banyak di antara mereka yang menolak untuk membuka informasi mengenai gaji mereka. Sebanyak 69 persen pekerja merasa bahwa bertanya soal gaji ke kolega bukanlah hal yang sopan, dan 89 persen pekerja merasa tidak nyaman bertanya soal gaji ke kolega mereka.

Padahal, informasi mengenai besaran gaji bisa membantu kita. Ketika informasi mengenai gaji ditutup-tutupi ia bisa menyebabkan diskriminasi di tempat kerja. Keterbukaan soal gaji terbukti bisa membantu mengurangi kesenjangan gaji. Kesenjangan gaji bisa disebabkan oleh bermacam-macam hal, salah satunya karena diskriminasi gender. Melansir studi yang dilakukan PayScale, transparansi gaji bisa membantu mengatasi kesenjangan gaji berdasarkan gender.

Selain itu, transparansi gaji bisa membantu kita melihat apakah gaji yang kita terima setara dengan gaji orang lain yang kualifikasinya sama dengan kita. Misalnya, dengan kualifikasi yang sama ternyata perusahaan lain bisa memberimu upah yang lebih besar. Informasi ini penting agar pekerja bisa mendapatkan kompensasi yang adil.

.Ilustrasi gaji./ Foto: Towfiqu Barbhuiya via Unsplash

Di samping itu, transparansi gaji terbukti bisa membuat karyawan bekerja dengan lebih produktif. Pendiri StartUp SumAll, Dane Atkinson, mempraktekkan transparansi gaji di perusahaannya. Data gaji masing-masing karyawan ditaruh di suatu tempat, dan bisa diakses oleh semua pekerja. Dengan menggunakan sistem ini, para karyawan bisa mengukur sendiri kelayakan gaji mereka dan dengan demikian tidak ada prasangka buruk atau iri hati antara sesama karyawan. Bekerja pun menjadi lebih nyaman, dan para karyawan memiliki kesempatan untuk menegosiasikan gaji mereka apabila mereka merasa jumlahnya kurang sesuai.

Masyarakat kita telah terbiasa memandang gaji secara simbolis, yaitu sebagai cerminan dari status dan value kita sebagai individu. Padahal, secara riil, gaji merupakan bentuk kompensasi atas kerja yang telah kita lakukan. Apabila kita membeli barang, kita pasti sudah tahu sejak awal barang apa yang akan kita dapatkan dan berapa uang yang harus kita keluarkan. Mengapa hal ini tidak berlaku juga untuk gaji? Transparansi gaji terbukti memiliki banyak dampak positif bagi pekerja dan perusahaan. Untuk itu, tidak ada salahnya kita mulai mencoba mempraktikkan transparansi gaji.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS