Perfilman Indonesia sangat kental dengan genre horor; genre yang sangat digandrungi oleh masyarakat dan produser film. Tak banyak, produser yang berani menggarap tema di luar genre itu karena dianggap tidak terlalu untung.
Namun Starvision dan Cinesurya yang berkolaborasi dengan Legacy Pictures, berani untuk keluar dari zona nyaman tersebut. Melalui film Tukar Takdir, mereka mencoba untuk menyegarkan kembali nuansa perfilman di Indonesia. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Mouly Surya, dengan produser Chand Parwez Servia dan Rama Adi ini merupakan adaptasi dari novel laris berjudul sama karya Valiant Budi.
Film yang dibintangi tiga karakter utama; Nicholas Saputra (Rawa), Marsha Timothy (Dita), dan Adhisty Zahra (Zara) ini menawarkan film dengan genre investigasi. Hal yang terbilang baru dalam dunia perfilman di Indonesia. Kebaruannya pun tidak hanya berhenti di situ, penggunaan pesawat sebagai latar tempat yang merupakan tempat akan terjadinya tragedi krusial dalam film tersebut juga menjadi daya tarik.
Tukar Takdir sendiri mengangkat cerita perihal seorang penumpang, Rawa, yang selamat dalam petaka pesawat Jakarta Airways 79 dengan korban meninggal 132 orang. Kendati selamat dari tragedi tersebut, Rawa justru banyak menghadapi banyak persoalan. Salah satunya ialah dari Dita, yang diperankan oleh Marsha Timothy.
Dita menyoal kepada Rawa yang bertukar kursi penumpang dengan suaminya; yang justru menyebabkan sang suami berpulang. Mereka Rawa dan Dita sama-sama mengalami rasa traumatis yang sulit dilupakan dan mencoba berjuang untuk sembuh dari hal tersebut. Kondisi serupa juga terjadi dengan Zara, yang mana sang ayah merupakan pilot dan korban dari pesawat tersebut.
Film dengan Genre Berbeda
Dengan menghadirkan film bergenre investigasi ke dalam perfilman di Indonesia, Ruang Takdir sukses membawa sesuatu yang baru. Menyediakan keberagaman genre kepada penonton dan mengusir rasa bosan terhadap genre yang repetitif. Kondisi tersebut diakui oleh Nicholas Saputra ketika ditemui dalam acara Content Day Tukar Takdir, Rabu (24/9) siang di Studio Jakarta bersama Adhisty Zara dan Marsha Timothy.
Menurutnya film ini sangat menarik dan menjadi suatu hal yang baru dalam dirinya dan perfilman di Indonesia. Kebaruan tersebut yang menjadi salah satu faktor pertimbangannya ketika ditawari Mouly Surya untuk turut terlihat dalam film tersebut. Ia memprediksi film yang akan tayang pada Jumat, 3 Oktober 2025 ini dapat menghibur penonton.
"Jadi ini sesuatu yang menarik dan sangat spesial. Sudah kebayang bakal seru. Bakal menjadi sesuatu yang menarik di Indonesia, karena ini merupakan hal baru di Indonesia," ujarnya.
Ia membeberkan bahwa film ini akan membawa penonton ke dalam dunia yang jarang ditemui dalam perfilman di Indonesia. Dengan alur cerita yang mendalam Tukar Takdir membawa penonton untuk menggali ranah psikologi dan peristiwa. Meskipun bergenre investigasi, tapi menurutnya film ini cenderung mudah untuk ditonton.
"Film ini nggak berat, nggak seperti yang dibayangkan banyak orang," ujarnya.
Ajakan Berdamai Terhadap Semua Tragedi
Mengangkat alur cerita yang penuh emosional sekaligus mendalam, Tukar Takdir mengajak penonton untuk berdamai dengan segala tragedi yang terjadi. Ketiga tokoh utama utama tersebut, Rawa, Dita, dan Zahra, memiliki cara penanganan yang berbeda-beda untuk menyembuhkan rasa traumatis.
Adhisty Zara mendeskripsikan sosok Zahra yang ia perankan. Zahra ketika sepeninggalan sang ayah ia suka bergonta-ganti warna rambut dengan jangka waktu yang tidak menentu. Ini menandakan dirinya yang masih mencari jati diri dan mencari jalan keluar dari rasa traumatis yang menghantui.
Sementara itu, sosok Dita yang diperankan oleh Marsha Timothy memiliki karakter yang berbeda. Marsha Timothy mendeskripsikan Dita sebagai tokoh yang sangat menarik karena bisa mengolah rasa sedihnya dengan sedemikian rupa, meskipun untuk sampai pada titik tersebut dibutuhkan waktu yang panjang.
Adapun Nicholas Saputra membeberkan bahwa Tukar Takdir ingin menggarisbawahi pesan bahwa segala rasa traumatis bisa disembuhkan, meskipun setiap orang memiliki cara dan penanganan yang berbeda-beda.
"Lalu berbicara soal mental health memang film ini bercerita tentang penanganan akan rasa traumatis yang berbeda-beda. Mungkin pesannya it's okay, semua orang punya caranya masing-masing. Nggak ada yang salah dan bener. Jadi itu sih yang mau ditebelin," ucapnya.
Reporter/Penulis: Fauzi Ibrahim
Editor: Dian Rosalina