Interest | Art & Culture

Suporter Rival Bernyanyi Bersama di Konser Oasis, Bisakah Itu Terjadi di Indonesia?

Selasa, 12 Aug 2025 22:30 WIB
Suporter Rival Bernyanyi Bersama di Konser Oasis, Bisakah Itu Terjadi di Indonesia?
Oasis World Tour '25./Foto: Instagram/oasis
Jakarta -

Kembalinya band rock asal Inggris, Oasis, menjadi sorotan sekaligus momen besar bagi banyak penggemarnya. Tidak terkecuali bagi saya, yang sudah lama mendengarkan Gallagher bersaudara, meski hanya mantengin tur Oasis dari layar gawai. Menyanyikan "Don't Look Back in Anger" terasa seperti ritual wajib penuh sensasi, apalagi sambil melihat lagak dangak Liam saat bernyanyi—maupun berceloteh nyeleneh, seperti menyindir kiss cam penuh skandal dari konser Coldplay di lain kesempatan.

Kisah reuni bertajuk World Tour Oasis ini sendiri bermula dari cuitan Liam Gallagher di X, pertengahan tahun 2023 silam. Dia berikrar, "Jika Manchester City juara Liga Champions saya akan menghubungi saudara saya [Noel Gallagher] dan membawa kembali band sialan itu. LG x." Saat Man City juara, ia menunaikan janjinya kepada para fans yang terus menagih cuitannya. Alhasil, setelah 14 tahun berpisah, Noel dan Liam kembali sepanggung.

Peristiwa ini mengingatkan saya dengan betapa lekatnya musik dan sepak bola, terutama di Inggris, yang sudah lama mengawinkan dua unsur tersebut menjadi bagian identitas budaya populer. Oasis sendiri berkaitan erat dengan Manchester City, sementara musisi Inggris lain seperti Damon Albarn (Blur) identik dengan Chelsea, mendiang Ozzy Osbourne (Black Sabbath) fanatik dengan Aston Villa, atau Ian Brown (Stone Roses) yang menggemari Manchester United.

Gemuruh Rivalitas Sepak Bola di Heaton Park

Setelah melakukan aksi panggung pertamanya di Cardiff, Wales, Oasis meluncur pulang kampung ke Manchester. Pada konser yang berlangsung di Heaton Park, Manchester (20/07), terlihat pemandangan unik: penonton Oasis tidak hanya berpakaian kasual ala Britpop, tetapi juga mengenakan jersey dua klub kebanggaan kota pelabuhan tersebut: Manchester City dan Manchester United.

Momen kembalinya Oasis ke satu panggung ini bukan hanya menandakan mereka masih relevan di zaman yang telah sepenuhnya berbeda. Namun, juga membuktikan bahwa musik bisa mengentaskan perbedaan. Paling tidak, mencairkan rivalitas dua tim asal kota Manchester.

[Gambas:Instagram]

Bahkan di luar area festival konser—disebut bukit Gallagher—para suporter yang tidak kebagian tiket tetap berkumpul menikmati kembalinya band idola, usai terakhir manggung bersama Agustus 2009 silam.

Di bukit Gallagher, dua suporter rival Manchester bertemu dan bersatu padu: sing along hit-hit legendaris Oasis, sambil sesekali beradu chants klub masing-masing, tanpa rusuh, apalagi sampai memakan korban jiwa. Tanpa kelihangan gengsinya, dua identitas—pendukung klub dan penikmat setia Oasis—mampu tampil berdampingan, guyub dan rukun. Sungguh fenomena yang indah.

Di tanah Inggris, sepak bola dan musik memang bukan sebatas hiburan, tetapi bagian integral dari identitas sosial dan budaya masyarakat. Jika ditelaah lebih jauh, sejatinya fenomena menggugah dari konser Oasis lalu tidak serta-merta terjadi secara natural, melainkan berkat regulasi dan kendali yang ketat. Hal ini bermula dari langkah tegas yang diambil pemerintah Inggris.

[Gambas:Instagram]

Waktu konflik antar hooligan, kelompok garis keras suporter, larut dalam kekerasan, regulator Inggris bersikap tanggap. Mulai dari menerapkan Football Banning Order, yakni melarang suporter yang terlibat aksi kekerasan masuk ke dalam stadion, demi menekan efek buruk hooliganisme; mengorganisir kembali industri sepak bola dengan fokus: family friendly di stadion; serta terjadinya pergeseran budaya suporter, yang semula saling membenci menjadi penekanan terhadap kecintaan terhadap klub kesayangan yang diekspresikan lewat simbol-simbol budaya pop hingga chant kreatif, bukan kekerasan fisik. Jika dulu subkultur suporter adalah tentang resistensi dan kekerasan, kini lebih tentang identitas dan gaya hidup yang lebih damai.

Pada pangkalnya, menonton cuplikan Liam yang setia membawa narasi sepak bola: mencitrakan dirinya sebagai penggemar berat sepak bola, khususnya: Man. City pada panggung-panggung megah tur Oasis '25, meyakinkan saya bahwa persilangan sepak bola yang penuh tensi dan aksi musik yang menakjubkan bisa terlihat romantis, dan membuat iri. Maksudnya, sebagai pecinta sepak bola sekaligus penikmat musik di Indonesia, saya berharap hal guyub semacam itu bisa terjadi di tanah air.

Namun, pertanyaannya: Apakah hal semacam itu benar-benar bisa terjadi di negeri kita?

Belajar dari Tambaksari

Lain dari konser Oasis yang monumental di Inggris, cerita guyubnya suporter pada sebuah konser di Indonesia nyaris sulit terdengar. Kita justru punya sejarah perpecahan suporter yang bermula dari sebuah konser musik. Di stadion-stadion kita, rivalitas kerap jadi bara yang mudah tersulut, bahkan hingga ke luar lapangan. Rasanya sulit membayangkan dua kelompok suporter besar di Indonesia bisa berdiri berdampingan, bernyanyi lantang tanpa sekat dan kecurigaan, seperti suporter Manchester City dan Manchester United yang rukun di saat pertandingan liga maupun konser Oasis yang baru saja berlangsung.

Konser yang seharusnya menghibur serta mempererat ikatan sosial, tidak terjadi di Stadion Tambaksari, Surabaya. Tepatnya pada konser Kantata Takwa, yang berlangsung 23 Januari 1990, terjadi bentrokan antara Bonek (suporter militan Persebaya) dengan Aremania (arek-arek pendukung Arema Malang) yang sama-sama memadati venue. Tawuran serupa juga kembali berulang di bulan Juni 1992, ketika Sepultura menggelar konser di Tambaksari.

Fenomena ini agaknya menunjukkan betapa dalamnya akar fanatisme di Indonesia. Di mana batas antara identitas musik dan sepak bola bisa jauh dari kata harmonis, dan jadi masalah berkepanjangan. Maksudnya, jika di Inggris kiwari, chants rival bisa menjadi bagian dari "permainan" tanpa memicu kerusuhan, cekcok antarsuporter karena yel-yel yang pernah terjadi di Tambaksari harusnya bisa jadi pelajaran berarti, yang tidak boleh berujung pada pertikaian fisik dan terus berulang-ulang sampai sekarang.

Suporter Kita Bisa Nyanyi Berdampingan di Sebuah Konser, Asal...

Bisakah suporter rival di Indonesia duduk berdampingan di tribun, baik saat pertandingan maupun ketika menyaksikan konser seperti di Inggris? Tentu. Mengapa tidak? Saya sendiri optimis, karena hal semacam itu bukanlah mustahil. Apabila kerukunan bisa tercipta di antara hooliganisme Inggris yang lebih kacau, harusnya hal serupa juga bisa terjadi di negeri ini.

Hanya saja, sebelum suporter siap untuk saling berdampingan, terdapat beberapa langkah yang harus diambil dan diterapkan bersama. Misalnya, dengan mencermati faktor-faktor yang sering menyebabkan permasalahan seperti: provokasi, penonton tidak tahu aturan, dan kepemimpinan wasit (Lembaga Survei Indonesia, 2023). Merujuk indikator-indikator tersebut, sebaiknya setiap pihak mulai mengedukasi diri demi menciptakan kultur yang lebih nyaman untuk semua orang di tribun.

Selain itu, demi mengentaskan kekacauan di antara suporter, terdapat pula beberapa sikap yang bisa diambil para pemangku kepentingan. Yakni:

  1. Intervensi Pemerintah dan Federasi yang Tegas
    Pemerintah dan federasi sebagai pemangku kebijakan harus tegas dalam menegakkan hukum untuk menertibkan suporter. Caranya, mungkin bisa mencontoh Inggris: individu yang berpotensi melakukan provokasi atau kekerasan ditertibkan, lebih lagi dilarang untuk menonton di stadion untuk efek jera dan menangkal efek domino dari kerusuhan suporter. Pemerintah dan, dalam hal ini, PSSI, juga wajib berlaku sebagai regulator yang bijak agar kelangsungan sepak bola Indonesia nyaman bagi seluruh pihak, tanpa harus mengorbankan kenyamanan-apalagi keselamatan-suporter.
  2. Peran Klub dan Komunitas Suporter dalam Mengedukasi
    Kedua entitas ini memiliki peran penting untuk edukasi suporter tentang pentingnya sportivitas dan bahaya kekerasan karena memiliki kedekatan emosional dan identitas. Mulai dari peran klub yang melibatkan suporter dalam organisasi klub seperti di Inggris, membuat mereka merasa menjadi bagian dari solusi bukan masalah. Hingga diikuti oleh komunitas suporter untuk menjalankan visi dan misi yang serupa dengan klub, akhirnya menciptakan dialog atau diskusi antar suporter. Tidak terkecuali komunitas seperti Rainfall, Riverside, Pagar Hijau Manahan, dll, harus turut serta dalam permasalahan ini.
  3. Perubahan Pola Pikir dan Budaya
    Mulai menarasikan untuk memisahkan identitas lokal dari fanatisme berlebihan, menjadikan sepak bola sebagai hiburan keluarga, serta membedakan rivalitas di stadion dan di luar stadion. Di sini semua orang terlibat terutama media dan figur publik sangat penting untuk mengkampanyekan normalisasi rivalitas yang sehat tanpa kekerasan. Sehingga membangun citra sepak bola sebagai hiburan yang aman untuk keluarga dan semua orang. Karena ini memerlukan kedewasaan kolektif untuk bisa dicapai melalui edukasi dan contoh nyata dari tokoh-tokoh suporter, sehingga fenomena seperti di konser Oasis, Heaton Park bisa kita rasakan di konser musik nasional.


Penulis: Iqra Ramadhan Karim*

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS