Panggung musik saat ini bukan lagi ajang yang hanya menyajikan gubahan gitar atraktif Billie Joe (Green Day), atau sekadar suara khas Bob Vylan, tetapi turut mengisi peran krusial: medium penyampai pesan kolektif dari berbagai kejadian yang penting disuarakan. Contoh nyatanya bisa dilihat dari aksi Bob Vylan di Glastonbury baru-baru ini. Di sela-sela penampilannya, ia memajang visual bertuliskan "Free Palestine", selagi lantang memimpin chants "Death to the IDF".
Sontak saya melihat, panggung musik bukan lagi hiburan semata. Terutama lewat peran krusial: materi visual panggung atau 'stage visual', yang sebelum-sebelumnya kerap luput dari perhatian, keriuhan pertunjukan musik kini juga bisa membawa pengalaman berbeda, bahkan menjadi "sentilan" moral untuk kita. Sungguh saya tidak bisa membayangkan suatu konser megah yang tanpa visual panggung. Pasti terasa anyep, seperti makan sayur sop tanpa garam, kurang sedap dinikmati.
Ketika Panggung Menjadi Mimbar
Kehadiran visual panggung di era kiwari bukan lagi perihal estetika belaka. Fungsinya bertambah penting, seperti mendukung mimbar umum bagi para musisi, untuk turut menyuarakan pesan-pesan sosial hingga politis—yang mereka anggap penting untuk disampaikan, selain tentunya, menyajikan karya-karya musik mereka sendiri.
Dari artistik ke sarkastik. Kira-kira itu penyebutan yang cocok untuk fenomena visual panggung sekarang. Menurut saya ini fenomena yang bagus dan mesti dipertahankan. Rasanya begitu sah apabila panggung musik mewujud mimbar yang bebas bagi rakyat, terutama dalam menyuarakan keadaan genting maupun kekacauan yang sedang terjadi.
Di dalam negeri, fenomena visual panggung yang menonjol ini bisa juga dicermati dari aksi-aksi Baskara 'Hindia' Putra, Seringai, hingga pesan visual panggung yang penuh rasa solidaritas dari berbagai musisi, ketika merespon kejadian-kejadian tertentu, seperti halnya insiden Sukatani atau gelombang protes "Indonesia Gelap", dan semacamnya.
Penting untuk disadari, bahwa musisi memiliki peran yang penting bagi masyarakat, selain menjadi seorang penampil atau penghibur di atas panggung. Aksi para musisi kini bisa menjadi variabel penting, di mana panggungnya juga berfungsi sebagai mimbar bebas dalam mengangkat suatu isu, bahkan memobilisasi masyarakat.
Musisi merupakan sosok yang memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang khalayak luas, terutama lewat karya yang mereka berhasil ciptakan, atau bahkan melampauinya. Soni Triantoro dalam buku Musik Protes mengatakan, musik adalah medium persuasi orang. Sehingga, bisa kita lihat, musik dapat memengaruhi kebanyakan orang. Ia bisa menjadi sarana kontemplasi, spiritualis, bahkan "berontak". Inilah privilese yang dimiliki seorang musisi—kendati juga bisa dilihat sebagai suatu beban, karena mereka juga diharapkan untuk bisa ikut menyuarakan kegelisahan para pendengarnya terhadap bermacam-macam kegelisahan terhadap negara, misalnya.
Terlepas dari "power" yang dimiliki seorang musisi, selaku tokoh publik, pada dasarnya mereka juga termasuk bagian dari rakyat itu sendiri. Artinya, mereka yang punya lampu sorot, juga berhak dan berkewajiban yang sama untuk menyuarakan hal-hal yang dianggap lebih benar. Dan, untungnya, di era sekarang, musisi-musisi lokal sudah lebih aktif menyuarakan hal-hal yang memuat pesan atas kegelisahan kolektif.
Salah satu pola yang paling terlihat adalah bagaimana para musisi aktif merespon gelombang protes masyarakat yang meluas di media sosial lewat sejumlah rangkaian tagar beberapa waktu lalu.
Ketika diadaptasi ke dalam pertunjukan para musisi, tepatnya menjadi materi visual panggung, serangkaian tagar yang pernah bertebaran seperti: "Peringatan Darurat", "Indonesia Gelap", hingga "1312" dan "Kami Bersama Sukatani" bukan lagi sekadar pengelompokan bahasan di alam maya. Pesan-pesan yang mewakili gelombang kegelisahan kolektif orang banyak itu hadir secara lebih nyata, berkat proyeksi visual panggung, yang menambahkan nilai dari suatu pertunjukan.
Ditambah lagi, berkat kombinasi font, warna, animasi, hingga rekaman gambar yang dipilih untuk ditampilkan, visual panggung mampu menciptakan pengalaman yang kian reflektif dan multi-interpretatif. Ia sanggup menghanyutkan kita ke dalam harmonisasi audio dan visual, yang mempertebal makna dari sebuah musik, sekaligus pesan-pesan lain yang turut diproyeksikan, sehingga semakin relate dan relevan dengan audiens.
Bisa dibilang, pemanfaatan panggung musik sebagai mimbar, dengan materi visual panggung sebagai salah satu senjata utamanya adalah medium sekaligus ruang yang kokoh bagi suara-suara rakyat yang tidak didengar. Maksud saya, apa yang kamu rasakan ketika visual panggung menampakkan tulisan "Dibunuh"? Visual panggung seperti ini dipresentasikan oleh Seringai, pada konser perayaan 20 tahun album High Octane Rock, di Lapangan Hockey Plaza Festival, Jakarta, tahun 2024 kemarin.
Dari contoh ini saya melihat, di balik musiknya yang cadas, terdapat ruang empati yang besar di tubuh Seringai, karena bisa-bisanya menyuarakan suatu peristiwa tidak adil yang dialami rakyat dalam konsernya. Bagi saya sendiri, pengalaman ini seperti rekaman kuat di otak, yang mencirikan kekuatan pesan visual panggung (menulis ini saja badan saya merinding). Seringai menulis: "Gamma Dibunuh" sebagai materi visual panggungnya kala itu. Suatu fenomena nyata, yang mengisyaratkan panggung sebagai arena ekspresi kritis, serta semakin menggarisbawahi urgensi solidaritas di tengah-tengah iklim sosial dan politik yang kian menantang ini. Shout out, Seringai!
Pentingnya Bersolidaritas di Masa yang Tidak Pasti
Visual panggung yang mampu menampung kegelisahan kolektif masyarakat banyak, seperti menjadi tanda untuk kita agar mulai merapatkan barisan. Karena di zaman seperti ini, kalau kita tidak berdiri beriringan, barangkali kita yang bisa jadi korban ketidakadilan.
Ambil contoh dari tagar "Kami Bersama Sukatani" yang pernah beredar, misalnya. Dari kasus tersebut, di mana Sukatani mendapat upaya pembungkaman terhadap karyanya yang bertajuk "Bayar, Bayar, Bayar", rekan-rekan musisi, beserta elemen masyarakat lain langsung bergerak sigap. Tiada pilihan lain: bersolidaritas adalah sebuah kebutuhan mendesak.
Dengan bersolidaritas, kita seperti tengah membentuk sebuah benteng kolektif, yang siap memagari hak-hak sipil, kebebasan berekspresi, dan urusan lainnya, yang sangat mungkin digembosi para pemilik kuasa. Dan jika hal ini tidak segera dilakukan, mungkin saja, giliran kita yang dihantam pemilik kuasa bisa tiba dalam sekedipan mata.
Bersolidaritas memang tidak mudah. Tapi, melihat para musisi yang telah melakukan inisiatif ini, seperti halnya memanfaatkan visual panggung, rasanya hal ini bisa mulai dilakukan dengan langkah-langkah sederhana. Mungkin, dengan turut datang mengunjungi pertunjukan para musisi yang punya concern sejalan dengan kepentingan rakyat banyak.
Pada akhirnya, visual panggung di tangan para musisi telah bertransformasi dari sekadar latar artistik menjadi suatu language of resistance yang kuat—yang turut bisa dicontoh sesama rakyat. Ia bukan hanya memperindah pertunjukan, melainkan menjadi cermin kolektif, pengingat, sekaligus pemicu kesadaran di tengah hiruk-pikuk realitas.
Ini adalah bukti bahwa seni, khususnya musik dengan segala elemen visualnya, memiliki kekuatan tak terhingga untuk menyuarakan yang tak terucap, dan menyatukan jiwa-jiwa yang merasa terwakili.
Penulis: Iqra Ramadhan Karim
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
(ktr/RIA)