Sebuah balon DM Instagram menuliskan penawaran menarik tentang White Chorus. "Lu mau interview mereka nggak?" tulis teman saya. Tanpa pikir panjang, hasrat ini mengiyakan ajakan tersebut karena beberapa hari sebelumnya, sudah ada niat untuk mengenal lebih dalam musik yang disajikan duo Emir Agung Mahendra dan Clara Friska Adinda. Ternyata lagi-lagi semesta mendukung niat baik yang muncul setelah menikmati EP do you guys wanna listen to some electro-pop music? secara berulang.
White Chorus bukan nama baru walaupun umurnya masih bisa dihitung jari. Berdiri sejak tahun 2019 di kota Bandung yang sarat akan sejarah musik dan tak pernah lelah melahirkan band-band fenomenal dari ranah mainstream hingga bawah tanah, White Chorus mencoba menunjukkan passion mereka yang cukup sederhana; bagaimana musik menjadi jalan hidup melalui privilege yang dimanfaatkan sebaik-baiknya.
"Dulu aku tinggal di Ambon. Habis dari Ambon baru pindah ke Jakarta Timur, habis di Jakarta Timur akhirnya pindah ke Bandung. Terus kayak baru nyadar 'oh hidup tuh gini' itu di Bandung," ucap Emir yang pertama kali menikmati musik dari band-band di Bumi Pasundan. "Terus baru tahu musik yang lagi rame. Ada pop punk, screamo, hardcore, baru berlanjut genre lainnya."
Nada-nada yang disajikan Danger Ranger, Alone At Last, Goodboy Badminton, Rocket Rockers, sampai Pee Wee Gaskins membuat Emir mulai memerhatikan aktivitas nge-band yang selalu marak dilakukan remaja tanggung. Dari menjadi manajer lalu memegang tahta vokalis, akhirnya White Chorus terbentuk setelah Friska berani untuk turun tangan langsung.
"Aku kenal musik dari The Beatles, lalu dikenalin Sam Saimun sama nenekku," kenang Friska tentang referensi musiknya saat itu. Bimbingan orang tuanya untuk ikut les piano, gitar, hingga drum pernah dicicipinya. Hasil dari ketiga percobaan itu pun sama, sama-sama tidak beres. "Akhirnya lebih dengerin musik doang hehehe. Makanya White Chorus jadi band pertama aku karena emang nggak pernah tampil di depan umum."
White Chorus meletakkan "batu" pertama mereka di dunia musik dengan EP Happysad pada tahun yang sama saat mereka berdiri. Sebagai band yang baru menetas, mereka seperti tidak memiliki kesibukan lainnya. Coba kamu perhatikan laman Spotify mereka, lalu hitung seberapa banyak lagu yang telah dirilis dari tahun ke tahun. Harus diakui kalau White Chorus menjadi salah satu band paling aktif yang pernah dilihat dalam satu lustrum terakhir.
Begitu juga dengan genre yang dimainkan. Lumayan lama bagi White Chorus untuk memantapkan diri dalam memainkan trip hop lewat karya-karyanya, meski sebelumnya lebih senang mendengarkan indie pop seperti Beach Fossils. "Friska tuh juga suka indie pop, cuma pas kita akhirnya workshop bareng, nemunya di ranah trip hop," jelas Emir yang terus mencoba mengulik genre tersebut untuk masuk ke sound ala sekarang. "Tapi ternyata nggak bisa..."
Kalau mendengarkan FAST FOOD, sound trip hop masih sangatlah kental. Komposisi yang lambat laun memudar atau menggelegar sesuai arahan kreativitas yang ingin dicapai membuat album yang dirilis pada tahun 2021 itu setidaknya membentuk identitas White Chorus. Namun kembali lagi ke premis awal, mereka memiliki waktu luang yang banyak sebagai bentuk privilege dalam urusan bermusik.
Evolusi White Chorus dalam Electro Pop
Tren yang dinikmati dan berjalannya waktu yang tidak bisa dihindari membuat keputusan untuk sedikit switch genre terjadi. Apa yang dicari oleh pasangan ini mulai terbentuk dalam album LIMBO (2023). Seperti layaknya manusia biasa, masih ada proses meraba-raba dari beragam suara yang dimainkan di album tersebut agar bisa masuk ke dalam penyebutan genre apa. Jawabannya adalah electro pop.
Status White Chorus pada saat itu sudah mulai tergambar lebih nyata. Maklum, keinginan untuk meroket harus ditahan dulu karena satu tahun setelah berdiri, malah harus melewati masa pandemi yang menyulitkan; sampai-sampai misi menjadi band internet tercapai dengan sendirinya. Pada akhirnya dunia maya pula yang menjadi fondasi mereka dalam membangun band ini.
Tantangan yang sudah dilewati membuat White Chorus lebih paham tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Pastinya berbekal genre electro pop yang semakin yakin untuk dipegang teguh setelah kesuksesan LIMBO. "Kami tuh selalu bikin lagu, pengen tiap tahun konsisten ngerilis terus," tegas Emir, perihal alasan utama kehadiran EP do you guys wanna listen to some electro-pop music?.
Terjadinya obrolan kami pada malam itu, beberapa saat sebelum White Chorus manggung di Rossi Musik untuk Latihan Pestapora 2024, memang didasari respons atas EP tersebut. Memuat lima lagu yang memperkuat DNA electro pop-bahkan dari segi judul sudah memperlihatkan apa yang ada di dalamnya-tidak ada rasa kekurangan dari setlist yang mereka sajikan. Potensi kemahiran kreasi nada-nada easy listening terasah secara nyata. "Pas banget pengen bikin EP kayak gini karena kita lagi dengerin lagi lagu-lagu Andien dan Melly Goeslaw yang zaman dulu," kata Friska.
"Sebenarnya pas bikin EP ini berangkat dari keinginan musik pop nggak sih?" tanya balik Friska kepada Emir. "Yang kami pelajari itu kalo musik dengan genre pop tuh semacam dititikberatkan kepada nada vokalnya dan liriknya. Kalo misalnya mau show off, mungkin ada satu part aja gitu, nggak usah kebanyakan," kata Emir membalas sang vokalis.
Masuk akal, karena ada pendekatan inspirasi musik pop dari Andien dan Melly Goeslaw dalam kelima lagunya. Didukung pula oleh dominasi lirik bahasa Indonesia yang menjadi eksperimen lebih jauh dari lagu "Amarah". "Karena udah ada 'Amarah', makanya kenapa nggak pakai pendekatan bahasa Indonesia aja untuk EP ini," tambah Friska. Wajar saja, kata "eksperimental" tidak bisa lepas dari White Chorus. Setelah selama ini diisi mayoritas lagu berbahasa Inggris, sekarang giliran bahasa ibu yang menjadi andalan.
Perubahan bahasa ternyata tidak berjalan semulus itu. Friska mengatakan kalau ia belum terlalu bisa menulis lirik bahasa Indonesia. Mau tidak mau Emir mengambil alih untuk urusan ini. "Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini kami kayak lebih suka bikin lirik pake bahasa Indonesia gitu. Terus Friska masih pengen bahasa Inggris, tapi kami coba deh bahasa Indonesia buat di EP ini. Jadi semacam A/B test aja, sebenarnya orang lebih suka bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sih," ungkap Emir.
Pembedanya apa dibanding LIMBO?
Emir: Sebenarnya EP ini semacam versi extended aja. Belum banyak perubahan gitu. Emang bener sih kata temen, ada yang bilang "rilis tuh jangan tiap tahun soalnya nanti nggak keliatan perkembangan bandnya bakal kayak gimana". Tapi biarinlah rilis aja nggak sih?
Friska: Tapi yang ngebedain sih dari lirik-liriknya ya. Kalau LIMBO kan lebih ke cinta-cintaan. Sedangkan kalau EP ini lebih serius tentang kehidupan. Jadi perbedaannya di situ.
Empat dari lima lagu di dalam EP ini berbahasa Indonesia. Kenapa bisa begitu?
Emir: Beberapa waktu lalu kan aku dapet kerjaan ngerekamin Dongker. Sekitar setahun lebih. Terus tiap minggu ketemu rekaman dengerin Delpi nyanyi pake bahasa Indonesia terus. Lama-lama mikir "susah juga ya bikin lagu pake bahasa Inggris" gara-gara ketemu Delpi mulu. Pas juga lagi dengerin The Jansen, Skandal, dan semacamnya. Makanya di sini mencoba pake lirik Indonesia.
Bahkan sebelum ini, kami tadinya mau bikin band yang fokus pake lirik bahasa Indonesia, tapi nggak jadi. Friska yang main bass, aku nyanyi, tapi pake bahasa Indonesia. Kemudian mikir "ah nggak lagi", udah mending White Chorus aja. Friska tetep nyanyi, aku main bass.
Kenapa judul EP-nya itu?
Emir: Gara-gara nonton kartun Regular Show. Dia tuh pada suatu hari punya golf cart terus rusak jadi harus di-service. Karena perjalanannya jauh dan harus dalam beberapa jam udah sampe sana, si karakternya mencoba cara denger lagu biar nggak tidur. Terus kata-katanya itu, "Do you want to listen to some electro-pop music?" Biar nggak ngantuk di long trip gitu. Karena lucu, makanya pake itu deh.
Terus ada inspirasi dari MALIQ & D'Essentials album Musik Pop. Wah, MALIQ bikin gambaran kalau musik pop tuh harus kayak gini. Ceritanya kami ikutan pengen tegasin kalau musik electro pop tuh seperti ini loh.
Gue mau bahas masing-masing lagu di EP. "Kadang Ingin Berhenti" artinya apa?
Emir: Setiap orang tuh pasti punya momen di mana dia capek dan pengen udahan ajalah. Tapi udahannya itu berarti istirahat aja, bukan udahan in a bad way. Kan di liriknya ada penggalan "Hanya diam mengamati / Dunia maju tak berhenti". Nah kayak pengen istirahat. Semacam "ini kok kenceng banget sih jalan, semua orang mau buru-buru, pada mau ke mana sih..."
Terus rekaman lagu itu pas malam-malam, tapi waktu subuh neneknya Friska meninggal. Terus jadi seperti pas aja... Di situ Friska langsung mendalami lagu ini.
"Bertanya-tanya" gimana?
Emir: "Bertanya-tanya" dan "Minggu" hampir mirip karena sengaja disambungin gitu. Tapi "Bertanya-tanya" versi lebih seriusnya. Kayak akhir-akhir ini tuh kami sial mulu. "Kami salah apa sih? Apa kami ada salah ke orang?" Kalau misalnya kami punya salah ke siapa, kami minta maaf deh biar nggak sial mulu. Kalau "Minggu" itu dari kesialan yang terjadi, mudah-mudahan pada akhir minggunya atau suatu hari nanti hidup kita bisa indah.
Terus kenapa ada saxophone di "Bertanya-tanya"?
Emir: Kami tuh selalu mikir rap mulu kayak dari LIMBO kan ada Nartok. Terus "Minggu" ada Dzulfahmi. Kayaknya udah bosen nih. Jadi kami kasih solo saxophone aja.
Friska: Kebetulan Nissi Wardoyo yang main saxophone di "Bertanya-tanya" tuh satu tahun yang lalu cover lagu White Chorus. Abis itu mikir bagus juga kalo diisi sama dia. Jadi kami ajak aja.
Emir: Kami tuh selalu pengen ada hal-hal yang kami suka untuk dimasukin ke lagu, walaupun jadinya impulsif tapi kami pengen kayak gitu sih.
Lagu "Minggu" kenapa terpilih Dzulfahmi?
Emir: Karya-karyanya dia selama ini kami suka sih. Waktu denger lagu-lagunya, kami tuh sangat merasakan musik hip hop banget ala 90's gitu. Jadi kami kepikiran kalo dia dikasih jersey beat bisa nggak ya?
Dia liriknya juga bagus banget dan nakal banget kan. Pas kami ngasih referensi tema "Minggu", terus minta dia bikin, ternyata benar aja. Dia bikinnya bagus. Waktu pertama kali kami denger, langsung mikir "anjir bagus lagi". Ya udah minta diterusin yang tadinya cuma 8 bar jadi 16 bar. Kami makin penasaran "coba tambah lagi dong".
Kalimat pertama Dzulfahmi di "Minggu" aja gue suka banget.
Emir: Iya yang "Mati perlahan / Hirup asap knalpot" itu udah dapet banget. Itulah kenapa kami coba challenge orangnya deh hahaha.
Friska: Soalnya biasanya kalo ngajak featuring orang, kecuali yang "Shine On" karena emang udah kami yang nentuin, kami ngebebasin aja ngisinya yang menurut mereka pas atau yang gayanya mereka banget. Kayak pas sama Nartok dan Dzulfahmi ini.
Tapi kenapa "Minggu" yang jadi single pertama di antara lima lagu?
Emir: Itu sih... Kami sempet bingung antara "Minggu" atau "Bertanya-tanya". Aku sebenernya pengen "Bertanya-tanya" soalnya itu lebih deep bagi White Chorus. Tapi ternyata dari diskusi sama temen-temen dan juga minta tolong untuk kasih rating lagunya, ternyata lebih banyak "Minggu". Jadi ikutin sesuai voting karena kami demokrasi kan hahaha.
Tapi bener juga [soal keputusan "Minggu" jadi single pertama]. Alasan pertamanya tuh White Chorus jarang pake lirik yang bener-bener cerita pendek keseharian. Biasanya kan panjang. Di sini kami jelasin dari pagi terus ke siang terus ke sorenya. Belum pernah [lirik] kayak gitu. Terus lirik Dzulfahmi di situ juga bagus banget sih, jadi kami pede buat jadiin single.
Lagu keempat itu "Mystery, Pt. 2". Apakah lanjutan dari "Mystery" di LIMBO?
Emir: Kalo "Mystery" yang pertama tuh sebenarnya tentang hidup kita yang penuh misteri. Kalau di "Mystery, Pt. 2" lebih kepada tidak bisa mengharapkan semuanya terjadi sesuai dengan kemauan kita.
Soalnya "Mystery, Pt. 2" terasa lebih legowo menerima keadaan hidup.
Emir: Makanya mungkin emang lagi proses pendewasaan juga sih.
Friska: Ditambah pas proses bikin album ini emang lagi stres-stresnya hahaha.
Emir: Lagi crisis hahaha. Coba, kita tuh suka selalu pengen kalo nge-chat orang harus dibales cepet, kalo nelpon orang pengen diangkat langsung, tapi kita sendiri kalo di-chat orang suka ngebales lama. Itu kan kita egois, padahal hidup tuh nggak selalu sesuai dengan rencana kita.
Sedangkan"Shine On" jadi lagu yang paling centil.
Emir: Hahaha sebenarnya liriknya cult banget tuh. Jadi kami mau coba bikin girlband jadi-jadian. Ada Friska, Adeliesa, Noni, dan Tarrarin. Walaupun suaranya mirip-mirip kalo didengerin hahaha. Jadi kami emang penasaran aja kalau bikin girlband lucu-lucuan tuh kayak gimana. Cuma bakalan susah kalo dibawain live soalnya harus ngumpulin semuanya.
Friska: Tapi iharus pake headphone kalau dengerin lagu itu soalnya ada detail-detail menarik, kayak dari sisi kiri ke kanan.
Tapi kenapa cuma "Shine On" yang Inggris?
Friska: Hmmm boleh diceritain nggak sih... Jadi tadi awalnya kami tuh mau rilis album sekalian, tapi too soon. Nah di album itu bakalan ada lima lagu Indonesia dan empat bahasa Inggris. Udah jadi semua demonya, cuma di antara empat lagu bahasa Inggris yang udah kami buat, kayaknya yang paling mateng tuh "Shine On". Sisanya masih kasar banget.
Emir: Dan kalau kami mau rilis album lagi juga masih terlalu cepat banget. Masa belum apa-apa udah album lagi. Sebenernya nggak masalah juga, King Gizzard juga gitu kan, cuman kayaknya nanti dulu deh. Kami coba EP dulu buat dijadiin A/B test.
Keputusan untuk membuat EP terdengar cukup wise. Harus diakui bahwa pendengar White Chorus tidak akan pernah merasa haus atas lagu-lagu baru mereka. Selama ini mindset yang berbeda telah dimiliki oleh Emir dan Friska. Oleh karenanya, hampir setiap tahun selalu ada rilisan baru dari mereka.
Alasannya pun jelas. "Karena emang kami kerjaannya gini doang sih hahaha. Kami sehari-hari ngurus studio sama toko, jadi Alhamdulillah nggak ada hambatan di musik misalkan mau studio session," kekeh Emir yang juga membangun brand fashion Downtown Market bersama Friska. "Alhamdulillah sih ini menjadi bentuk kenikmatannya. Kami sih sebenarnya pengangguran hahaha."
Mau seberapa seringnya menganggur, pasti ada tujuan jelas dari EP ini. Sambil sedikit berpikir, Emir merasa masa sekarang mulai patut dipertanyakan soal masih perlu seberapa dalam untuk menggali inspirasi musik dan segala tetek bengeknya. Belum lagi ada perasaan kalau semua musik sudah dieksplorasi. Ditambah pula dengan semudah itu untuk memproduksi lagu dan mencari sample berkat dukungan teknologi. Baginya, sekarang sudah tidak ada lagi kompetisi. Malahan ada perasaan bersyukur kalau ada lagu baru.
Pandangannya menghadirkan sebuah pertanyaan atas kepuasaan dari EP ini. Keduanya memiliki jawaban berbeda. "Dari 1-10, buat aku pribadi sih 11 ya hahaha," bangga Friska sambil sedikit diingatkan Emir untuk tidak boleh cepat-cepat puas. Ia sendiri memilih angka 7 atau 8 untuk mengisi catatan respons kepuasan.
Friska memiliki pendapat yang mampu memperkuat penilaiannya yang ada di atas batas nilai tertinggi. "Gini, aku orang Indonesia tapi kadang-kadang kalo nyanyi bahasa Indonesia tuh nggak biasa gitu loh. Karena belum terbiasa aja. Padahal bagus-bagus aja sih. Terus setelah akhirnya ada EP ini kayak 'ih bagus juga ternyata'."
EKSPERIMENTAL FRISKA DAN EMIR DALAM ENTITAS LAINNYA
Di luar urusan permusikan, Emir dan Friska masih membangun kerajaan bisnis fashion bernama Downtown Market yang telah berdiri sejak Desember 2021. Emir yang mengidolakan Dochi Sadega turut serta menginspirasi apa yang dibuatnya saat ini. "Udah ngeband terus punya clothing juga lagi. Ditambah main bass. Bahkan nulis lirik juga karena Dochi," kelakar Emir.
Downtown Market terhitung aktif merilis artikel baru setiap waktunya. Jenama ini sengaja dibentuk untuk menjadi side hustle mereka berdua jika tidak sedang manggung, sekaligus membentuk sebuah tongkrongan baru dalam keseharian mereka di Cihapit, Bandung.
Saya lebih dulu menikmati karya-karya Emir dan Friska di Downtown Market dibandingkan White Chorus. Pastinya ada penilaian dari desain yang ditampilkan. Terkhusus desain yang banyak menggunakan teks. Apakah itu bawaan dari kekaryaan mereka di White Chorus? "Kayaknya gitu ya. Bahkan waktu pake nama 'limbo' sebagai album, itu sebenarnya dari desain Downtown duluan, Forever in Limbo. Jadi mikir apa judul albumnya pake 'limbo' aja. Makanya jadilah LIMBO. Emang susah dipisahkan sih jadinya," jawab Emir.
Selalu mendesain fashion yang lagi mereka suka membuat pertanyaan tentang kiblat fashion malah sulit dijawab. Saat obrolan ini berlangsung, Friska mengenakan t-shirt album BRAT; warna hijau stabilo nan terang cukup membuat ia tersadar kalau saat ini fashion Charli XCX lagi diseriusinya. Berbeda dengan Emir yang terus mengikuti tren blokecore, jersey hockey, atau grafis realtree ala skena hardcore yang juga lagi naik daun.
Kalian kan ada White Chorus dan Downtown Market, serta entitas lainnya. Apakah hidup kalian seeksperimental itukah?
Emir: Bisa jadi... Iya lagi... Dipikir-pikir sebebas itu juga. Walaupun nggak juga sih... Tapi bebas sih jadinya ya mau lagu dan lainnya. Alhamdulillah bisa kayak gitu. Inilah yang namanya privilege hahaha.
Tapi apakah fashion sepenting itu di mata White Chorus?
Emir: Penting banget sih biar enak dilihat, terus selalu up to date. Bahkan pengen dilihat sebagai band fashion dan interior, makanya kemarin kolaborasi sama NOUV dan Studio Moral. Cuma tiap manggung kayak gitu effort-nya harus lebih besar. Timnya juga wajib lebih besar, sih.
Ada item fashion wajib gak kalo mau manggung?
Emir: Aku sih topi ya. Sempet copot pas manggung sampe panik sendiri hahaha.
Friska: Aku sepatu boots karena emang enak buat manggung. Gak pernah tuh kakinya salah injek atau keseleo hehehe.
Lebih enak jadi musisi atau ngurusin fashion?
Emir: Balance sih. Enaknya sih balance biar kita banyak temen, banyak rezeki. Ada temen-temen fashion, ada temen-temen musik.
Friska: Walaupun kadang dua-duanya suka nggak kepegang ya hehehe.
Kalau di depan kalian ada sosok Friska dan Emir waktu baru bikin White Chorus pada tahun 2019, pengen ngomong apa?
Emir: Allah memberikan yang terbaik, bukan yang tercepat... Jadi nggak bisa cepet-cepet. Emang harus berproses. Trust the process hahaha.
Friska: Aku nggak ada, omongan Emir udah sempurna sih hahaha.
***
White Chorus dalam Daftar
Tiga band favorit Friska
1. The Drums
2. Idles
3. Jirapah
Tiga band favorit Emir
1. Mac DeMarco
2. Pee Wee Gaskins
3. White Chorus
Tiga makanan favorit di Bandung
1. Ayam Bebek Haji Anom
2. Bebek Kalio Ananda
3. Sambel Hejo
Tiga hal terbaik nge-band sama pasangan
1. Dapet jalan-jalan gratis
2. Nyobain makanan baru di berbagai daerah karena emang suka makan-makan
3. Ngambil keputusannya cepat
Tiga panggung terbaik
1. We The Fest 2024
2. Showcase LIMBO, Hotel Monopoli 2023
3. Pestapora 2022