Interest | Art & Culture

Pengemasan Kekerasan Seksual dalam Film yang Tepat, Seperti Apa?

Selasa, 21 May 2024 16:36 WIB
Pengemasan Kekerasan Seksual dalam Film yang Tepat, Seperti Apa?
Foto: IMDb
Jakarta -

Tidak bisa dimungkiri, film memiliki kekuatan untuk memberikan perspektif baru melalui cerita yang dapat menggugah penontonnya. Medium ini juga dapat meningkatkan kesadaran melalui pesan-pesan yang ingin diutarakan. Tetapi, tema kekerasan seksual dalam medium film tidak bisa dikemas sembarangan. Alih-alih adanya motif untuk meningkatkan awareness, bisa jadi adegan kekerasan seksual seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan malah terkesan triggering hingga enabling.

Memahami Pengemasan Kekerasan Seksual dalam Film

Menurut penelitian, media memainkan peran penting dalam membentuk representasi kolektif tentang kejahatan, terutama kejahatan kekerasan seksual. Penggambaran korban dalam media dapat membangkitkan emosi seperti kemarahan moral, belas kasih, dan kesedihan, yang pada akhirnya bisa memantik niatan kolektif untuk menggerakkan keadilan. Tetapi, jika dikemas dengan cara yang tidak proper, hal ini bisa mendorong stereotip atau bahkan normalisasi terhadap kekerasan seksual itu sendiri.

Ada banyak cara untuk meningkatkan kesadaran publik akan kasus-kasus kekerasan seksual yang diangkat dari kisah nyata. Terlepas bentuknya, visualisasi untuk kekerasan seksual baiknya tidak dieksekusi dengan detail-detail ofensif yang (umumnya) berangkat dari male gaze. Sebab, hal ini malah bisa memberikan dampak eksploitatif yang jatuhnya tidak etis dan nirempati bagi korban kekerasan seksual.

Berikut adalah empat film yang dibumbui tema kekerasan seksual yang dikemas secara edukatif dan dengan proporsi yang tepat.

Silenced (2011)

Dibintangi Gong Yoo, Silenced merupakan film yang diadaptasi dari kisah nyata, dan mengikuti kisah seorang guru muda yang mengajar di sekolah khusus anak difabel. Sebagai pendatang baru, ia menemukan bahwa siswa-siswanya selalu mengalami kekerasan mental, fisik, hingga seksual dalam jangka waktu yang lama yang dilakukan oleh jajaran pengajar dan staf di sekolahnya.

Baby Reindeer (2024)

Meskipun Baby Reindeer lebih menitikkan fokus cerita tentang stalking, namun film ini juga memberikan perspektif baru tentang kekerasan seksual dari sudut pandang laki-laki, dan bagaimana tragedi tersebut dapat mendorong perilaku self-sabotage hingga kebingungan seksual.

27 Steps of May (2018)

Dibintangi Raihaanun, 27 Steps of May mengikuti cerita May yang mulai mengasingkan diri dan berhenti berbicara usai mengalami kekerasan seksual. Dihantui oleh rasa bersalah karena tidak bisa melindungi May, Ayahnya selalu merasa terpuruk dan berusaha hidup sesuai kondisi May yang bungkam tahun demi tahun. Hingga suatu hari, May menemukan seseorang yang ada di balik lubang di dinding dan perlahan mulai bergerak ke perjalanannya dalam trauma healing.

Unbelievable (2019)

Mini series ini menceritakan seorang remaja perempuan yang dituduh berbohong usai melapor tentang tragedi pemerkosaan yang menimpanya. Unbelievable adalah sebuah rollercoaster ride yang akan membawamu ikut merasakan perasaan tidak berdaya si karakter utamanya. Sebab, mini series ini lebih condong memperlihatkan dampak psikologis yang dialami oleh korban kekerasan seksual terlebih saat mereka tidak mendapatkan support system yang seharusnya mereka terima dari orang terdekat hingga pihak kepolisian yang menangani kasusnya.

(HAI/DIR)

Author

Hani Indita

NEW RELEASE
CXO SPECIALS