Ledakan film-film Korea dan Jepang di Indonesia terus bereskalasi hingga titik yang belum diketahui sampai mana. Selama beberapa bulan terakhir, kita disuguhkan film-film dari kedua negara yang memiliki masa lalu kelam penuh konflik. Namun sebagai penonton, kita hanya perlu menikmati tanpa harus berpikir terlalu jauh tentang persaingan dan tetek bengek lainnya. Sampai akhirnya muncul film berjudul Exhuma di Tanah Air yang mulai dirilis pada 28 Februari.
Exhuma menjadi bentuk sempurna dari sejarah kelam Korea-Jepang dengan bumbu fiksi dan sentuhan garnish berbau klenik yang mampu membawa kita masuk ke dalam cerita secara total. Bagaimana film ini bisa membuat kita terduduk diam dengan perasaan tegang dan terus penasaran atas ujung ceritanya? Kuartet Bong-gil (Lee Do-hyun), Hwa-rim (Kim Go-eun), Sang-duk (Choi Min-sik), dan Young-geun (Yoo Hae-Jin) jadi game changer yang bermain tempat pada porsinya.
Review Exhuma
Jalan cerita Exhuma cukup kompleks dengan pembagian enam chapter yang sebenarnya bisa dibagi dua lagi. Tiga chapter membawa kita ke dalam pencarian jawaban atas misteri teror dari garis keturunan keluarga kaya raya. Ingin menghentikan teror yang sudah turun temurun, dua dukun Bong-Gil dan Hwa-Rim bersatu padu mencari jawabannya.
Berpikir bisa diselesaikan dengan mudah untuk mendapatkan pundi-pundi uang yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, mereka malah harus meminta bantuan ahli feng shui, Sang-duk dan tandemnya, Young-geun. Ternyata kasus ini membawa mereka ke dalam sejarah nenek moyang dari keluarga kaya raya tersebut. Kuburan di atas gunung yang terkucilkan dan tepat berada di garis pemisah Korea Selatan-Korea Utara menjadi poin tambahan dari apa yang akan mereka temukan setelahnya. Sayangnya, itu masih belum apa-apa.
Selesainya masalah pertama malah membuka tabir yang lebih gelap nan pekat. Jika frasa "hitam semakin pekat" digambarkan dalam suatu cerita, babak kedua Exhuma menjadi contoh paling tepat. Keputusan untuk kembali lagi membongkar liang lahat yang sudah menganga membuat kuarter ini harus bergandengan tangan dengan maut. Mereka malah membangkitkan monster yang sudah tidur sejak perang Korea-Jepang berlangsung.
Di sinilah faktor sejarah bermain, yang harus didukung kemampuan otak kita mengaitkan seluruh benang cerita. Apa yang terjadi pada babak pertama Exhuma tidak ada apa-apanya dengan babak kedua. Ternyata ketegangan bernuansa creepy berubah total menjadi survival mode yang dipenuhi darah dan amarah.
Sejarah Kelam Jepang-Korea dalam Exhuma
Sempat ada pikiran apakah Exhuma akan ditayangkan di Jepang atau tidak. Walaupun memiliki nilai sentimentil yang tidak semasif Oppenheimer, namun rangkaian dialog dan jalan cerita film ini bisa membuka pikiran kita bagaimana jalur konflik Jepang pada masa itu benar-benar tidak berhenti pada manusia normal, tapi hantunya juga ikut bermain.
Beberapa momen film ini membuat kita sadar bagaimana pengkhianatan atas negeri sendiri bisa terjadi walau kita lahir, bertumbuh, dan berdarah di tanah tersebut. Itulah yang membuat babak pertama Exhuma memiliki koneksi atas monster yang ditanam berdiri. Ditambah lagi dengan seringnya penyebutan sosok siluman rubah, yang sebenarnya dalam mitologi Jepang memang dikenal mampu menghasut. Semuanya mulai terangkai sehingga menciptakan jalan cerita yang masuk akal.
Bagaimana dengan kuburan yang ada di antara Korea Selatan-Korea Utara? Hasutan yang ditelan mentah-mentah pun hanya menjadi kamuflase dari monster yang dikutuk. Akhirnya atas alasan ini pula, diyakini bahwa perpecahan di semenanjung Korea memang berasa dari kutukan tersebut. Dan itu harus mengakibatkan satu keluarga merasakan kutukan dari generasi ke generasi demi balas dendam atas kekalahan Jepang.
Dari semua fakta kelam yang coba disebutkan satu per satu dalam Exhuma, ada satu kalimat yang selalu menggelitik sekaligus membuat kita bisa menyeringai miris. "Hantu Jepang akan membunuh siapapun yang ada di dekatnya tanpa alasan". Kira-kira seperti itu dialog yang diulang beberapa kali. Ternyata apa yang diucapkan memang sesuai fakta. Sang monster secara sporadis mencari mangsa, dari manusia hingga sekawanan babi.
Jika ingin disambungkan dengan sejarah kelam perang di tangan Jepang, Exhuma ingin menyatakan bagaimana darah Jepang yang sudah menjadi hantu saja masih sesadis itu. Bagaimana kalau masih hidup bernyawa dan memiliki kuasa besar? Kiamat kecil bisa dihadirkan bagi satu wilayah besar atau satu keluarga beserta keturunannya.
Kira-kira seperti itulah penggambaran Exhuma yang sempat membuat kita "tergocek" dengan jalan ceritanya. Dalam durasi hampir 2,5 jam, kita dibawa masuk ke dalam kuartet yang berpetualang di ujung Korea Selatan untuk menyelamatkan hidup orang lain, serta nyawa mereka sendiri. Apakah bisa disebut film penuh plot twist? Belum tentu juga, jika kamu sudah mempersiapkan imajinasi dalam merangkai cerita dari keenam chapter film ini.
Jika kamu takut film horor, jangan ragu untuk membeli tiket Exhuma as soon as possible. Tidak ada jumpscare atau musik menggelegar yang siap mengagetkan kita dalam jangka waktu lima menit sekali. Film slow burn seperti inilah yang seharusnya dinikmati oleh kita semua, masyarakat Indonesia yang sudah sering dicekoki film horor bersenjatakan jumpscare.
(tim/DIR)