Interest | Art & Culture

Forestra 2023: Antara Musik, Manusia, dan Alam Raya

Rabu, 30 Aug 2023 17:30 WIB
Forestra 2023: Antara Musik, Manusia, dan Alam Raya
Foto: CXO Media/Riz Afrialldi
Jakarta -

Filosof masyhur dari daratan timur, Lao Tzu, pernah berujar, bahwa musik sebagai perwujudan murni dari jiwa manusia dapat memberi getaran kepada semesta. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan apabila alunan musik sebagai perpanjangan hati dari para pemainnya dapat menggugah setiap yang ada di sekitarnya, baik manusia itu sendiri, maupun alam semesta.

Walau demikian, pada spektrum yang lebih menyeluruh, pernyataan lebih lanjut mengenai "musik yang mampu menjadi harmoni untuk manusia dan alam raya" seperti perlu kembali direnungkan dengan mencermati praktik-praktiknya.

[Gambas:Instagram]

Salah satunya ialah melalui perhelatan Forestra 2023, yang berupaya untuk menampilkan kebersinambungan rasa antara musik, manusia, dan alam. Rampung digelar pada Sabtu, 26 Agustus lalu, acara yang menjumput akronim "forest" dan "orchestra" sebagai nama, mencoba konsisten dalam menyuguhkan konsep orkestra nan megah di lanskap hutan yang hijau.

Meski tidak terbilang baru, inovasi Forestra tahun 2023 (edisi ketiga) ini menjadi titik persambungan dengan pagelaran terakhirnya, pada tahun 2019 silam. Intinya, sajian orkestra a la Erwin Gutawa (sekaligus bertindak sebagai music director) dan tata visual arahan Jay Subyakto (selaku art director), kembali dirangkai dengan sedemikian rupa, di kawasan Orchid Forest Cikole, Jawa Barat.

Panggung Luar Biasa Forestra 2023Panggung Luar Biasa Forestra 2023/ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Lebih dari pertunjukan musik konvensional, Forestra yang berlangsung di alam terbuka dengan sokongan tata visual artistik juga memperpanjang tangannya, sebagai wahana peningkatan kesadaran dalam usaha melestarikan alam, berupa sumbangsih konservasional ke salah satu lembaga pemerhati alam.

Level Berbeda Pertunjukan Musik
Meneruskan "gaya" Forestra 2019, pertunjukan gigantic khas orkestra, sekali lagi berhasil tampil menyihir di luar ruang. Dilengkapi dengan gagah panggung berundak-undak dan tribun lapang alami yang menjulang, klaim Forestra sebagai pelopor sekaligus pemilik acara orkestra hutan terbesar se-Asia Tenggara rasanya sulit dikesampingkan.

Sontak, sejak dimulai sekitar pukul 4 sore, hamparan rumput yang menggunduk sepenuhnya berganti padat penonton yang berduduk ria. Sungguh, perpaduan cuaca dingin semilir kabut yang naik turun merupakan teman baik saat meresapi penampilan White Shoes and the Couples Company dan Sore, yang bergantian menghangatkan hati juga telinga. Sebagai band kawakan, keduanya berhasil membuka edisi Forestra terbaru secara lebih istimewa.

WSATCC Membuka Forestra 2023WSATCC Membuka Forestra 2023/ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Laun gelap menjelang, derik jangkrik yang biasanya memecah sunyi di kawasan seluas 12 hektar Orchid Forest Cikole berganti dengan bisik-bisik ramai orang, yang mulai tidak sabar menanti pertunjukan utama: kolaborasi Orkestra Erwin Gutawa dengan sederet musisi kenamaan.

Nama-nama seperti, Barasuara, David Bayu, Gabber Modus Operandi, Burgerkill, Rahmania Astrini X Aurelie (Tribute to Chrisye), hingga Feel Koplo, bergantian menjadi kolaborator. Kali ini, baik dari sisi para penampil yang memang punya kualitas, daya garap orkestrasi yang mampu mengeskalasi setiap genre musik benar-benar mengalir kencang.

Tak pelak, nada-nada khas Barasuara yang menghanyutkan terasa kian menyentuh; David Bayu yang komikal sukses mencuri perhatian; sedangkan Gabber Modus Operandi sepakat menyeimbangkan larut suasana dengan hentakan-hentakan garang. Pun begitu dengan Burgerkill, sebuah band metal/hardcore senior dari Bandung, yang ikut mempersembahkan kolaborasinya untuk mendiang Eben "The True Megabenz".

Belum selesai di situ, daya magis Erwin Gutawa dan orkestranya juga sukses memenangkan hati setiap pendatang, yang tak kuasa bernyanyi bersama sewaktu dua cara manis: Aurelie dan Rahmania Astrini membawakan tembang legendaris mendiang Chrisye.

Walaupun asalnya konsep multi-kolaborator ini juga pernah dilakukan di edisi 2019 lalu, dentuman tak umum di telinga dari Gabber Modus Operandi tampak cukup mengungguli para kolaborator dari edisi terdahulu. "Kita biasanya main di ruang tertutup, kebanyakan di klub. Di sini jelas berbeda, seru dan pastinya menyenangkan, apalagi dengan topografi dan nuansa alam seperti ini," kata Kasimyn (personel GMO) kepada CXO Media.

Ican Harem (personel GMO) lalu menimpali, "Kalau biasanya orang 'manggut-manggut', di sini justru ada satu penonton yang saya lihat melongo sepanjang lagu pertama [GMO]. Saya kira dia akan lebih nyaman di lagu ketiga, ternyata lebih [jaw dropping]," katanya lalu tertawa.

Gabber Modus Operandi Menghentak Forestra 2023Gabber Modus Operandi Menghentak Forestra 2023/ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Paling minim, pertunjukan bernuansa magis dari masing-masing kolaborator—yang punya basis massa berbeda—sama-sama diperkuat oleh dimensi visual gubahan Jay Subyakto. Mengandalkan sorot lampu dekoratif ke teras pepohonan di bagian atas panggung, elemen-elemen visual hingga lirik yang mendukung unsur musikal sanggup menopang malam; ditambah dengan irama rakyat yang dilantunkan oleh Feel Koplo hingga larut.

Kepentingan Seni dan Keberlanjutan Lingkungan
Tidak bisa dimungkiri, musik dan atau segala bebunyiannya bukanlah sesuatu yang asing bagi belantara hutan. Walaupun biasanya, makhluk-makhluk alam yang mengisi, bukan berarti manusia tidak kapabel untuk mempersembahkan sesuatu bagi alam yang megah. Buktinya, Forestra 2023, melalui Erwin Gutawa dan para kolaborator sanggup mempersembahkan nada-nada indah kepada semesta. Pun begitu dengan Jay Subyakto, yang pandai memanfaatkan ruang untuk tata visualnya.

Hanya saja, meski Forestra 2023 memiliki misi yang bisa dibilang mulia, sisi lain acara ini juga tidak menutup kemungkinan ironis, yang malah memberi dampak buruk bagi lingkungan itu sendiri. Tentu kita tidak bisa tutup telinga soal beberapa kasus viral soal kawasan wisata alam yang rusak usai dihinggapi banyak pengunjung. Seperti perpanjangan istilah dari pepatah lama, "Jika gajah mati meninggalkan gading, maka manusia pergi meninggalkan sampah."

[Gambas:Instagram]

Ya, sampah adalah titik perhatian utama saat manusia bermain-main di kawasan alam. Entah itu sampah bekas makanan, perlengkapan piknik dan tetek-bengek lainnya, hingga sisa-sisa produksi yang tak selalu bisa dicerna alam secara mandiri. Lebih khususnya, penggunaan sumber daya energi di Forestra 2023 yang masih mengandalkan generator kurang ramah lingkungan.

Apalagi, setelah malam menjelang diForestra 2023, area penonton terpantau begitu padat dan sulit diakses bahkan untuk sekadar melintas, secara langsung atau tidak, hal ini juga bisa mengurangi esensi acara musik di alam terbuka yang langka terjadi. Misalnya sajian visual, yang tampak prima namun terbatas dari tampak depan panggung saja.

Tata Visual dari Jay Subyakto Mewarnai Forestra 2023Tata Visual dari Jay Subyakto Mewarnai Forestra 2023/ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi

Pangkalnya, walaupun Forestra 2023 berlangsung sukses, megah, dan terbilang mampu memenangkan hati setiap pengunjung, poin riskan pasca-acara juga wajib diperhatikan dengan amat sangat. Mungkin, pada kelangsungan hajat berikutnya, faktor kapasitas penonton, sumber daya energi yang berkelanjutan, hingga misi mulia soal penyelamatan alam, bisa lebih digalakkan dan diterapkan dengan baik. Sehingga, misi Forestra yang hendak menyajikan harmoni musik kepada manusia dan alam raya bisa lebih benar-benar terpenuhi.

(RIA/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS