Interest | Art & Culture

Mengapa Kebaya Bukan Hanya Milik Indonesia?

Selasa, 29 Nov 2022 17:00 WIB
Mengapa Kebaya Bukan Hanya Milik Indonesia?
Foto: Instagram
Jakarta -

Semua warga Indonesia pasti sepakat kalau kebaya adalah salah satu warisan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Pada perjalanannya, kebaya yang dulu identik sebagai pakaian tradisional akhirnya mengalami kebangkitan pasca kampanye "Kebaya Goes to UNESCO" yang santer terdengar satu tahun terakhir. Berkebaya akhirnya menjadi sebuah tren yang digemari di kalangan perempuan muda urban; selebriti mulai dari Dian Sastrowardoyo hingga Andien Aisyah kerap memamerkan outfit kebaya mereka, thrift shop daring yang menjual kebaya lawas juga semakin menjamur.

Ketika ketertarikan untuk berkebaya semakin meningkat, muncul kabar bahwa Singapura bersama-sama dengan Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam berencana untuk menominasikan kebaya sebagai warisan budaya ke UNESCO   tanpa Indonesia. Nominasi ini bersifat multinasional, artinya keempat negara tersebut bekerja sama menominasikan kebaya tanpa ada kepemilikan tunggal dari negara tertentu. Rencananya, nominasi ini akan diajukan ke UNESCO pada Maret 2023.

Berdasarkan pernyataan dari Singapore National Heritage Board, kebaya merepresentasikan kesamaan sejarah dan multikulturalisme yang ada di kawasan Asia Tenggara. "The multinational nomination also presents an opportunity for countries to promote and celebrate this shared cultural heritage found in the region," tulis Singapore National Heritage Board dalam laman resmi mereka. Inisiatif yang dilakukan keempat negara ini membawa semangat kolaborasi pelestarian budaya lintas negara yang selama ini jarang ditemukan di Asia Tenggara.

Indonesia   yang sudah lebih dulu menominasikan kebaya ke UNESCO   tidak terlibat dalam inisiatif ini. Bukan karena tak diajak, tapi karena Indonesia belum memberikan konfirmasi apakah ingin bergabung dalam nominasi ini atau tidak. Namun, mengingat track record Indonesia sebagai bangsa paling nasionalis di dunia, rasanya sulit untuk membayangkan warga negara ini bersedia untuk berbagi. Tak ayal, unggahan dari Singapore National Heritage Board langsung diserbu oleh komentar warga Indonesia yang tak terima kebaya diklaim oleh negara lain. Pasalnya, menurut banyak warga Indonesia, kebaya adalah budaya asli Indonesia, sedangkan negara lain hanya meniru. Benarkah demikian?

[Gambas:Instagram]

Kebaya di Nusantara

Hingga kini, belum ada kesepakatan mutlak mengenai dari mana sebenarnya kebaya berasal. Ada sumber yang mengatakan kebaya berasal dari Tiongkok, ada juga yang mengatakan kebaya berasal dari Timur Tengah. Namun kalau dari segi bahasa, berbagai sumber mengatakan bahwa istilah "kebaya" berasal dari bahasa Arab "qaba" yang memiliki arti pakaian.

Meski asal muasal kebaya belum disepakati, tapi banyak sejarawan bersepakat bahwa kebaya mulai digunakan di nusantara sejak abad ke-15 pada masa Kerajaan Majapahit. Pulau Jawa yang menjadi pusat pemerintahan Majapahit digadang-gadang sebagai tempat awal menyebarnya budaya berkebaya, sehingga kebaya secara populer diasosiasikan dengan budaya Jawa.

Pada masa itu, pakaian menandakan status sosial dan kebaya merupakan pakaian perempuan bangsawan. Kebaya sendiri dideskripsikan sebagai blus yang digunakan bersama dengan kemben dan sarung, kain batik, atau songket. Model kebaya yang menutupi bagian kemben merupakan pengaruh dari agama Islam yang semakin kuat pada masa itu, sehingga para perempuan berbusana dengan lebih tertutup.

Di akhir abad ke-18, pemakaian kebaya menjadi semakin merata dan tidak terbatas untuk bangsawan. Hal ini disebabkan oleh peraturan pemerintah kolonial yang mewajibkan penduduk untuk mengenakan pakaian etnis di ruang publik. Kebaya pun akhirnya digunakan oleh masyarakat lintas etnis, baik pribumi, Belanda, maupun Tionghoa. Pemakaian kebaya secara luas ini akhirnya melahirkan berbagai jenis kebaya, mulai dari Kebaya Kutubaru, Kebaya Sunda, hingga Kebaya Encim.

.Ilustrasi kebaya/ Foto: Freepik

Budaya yang Majemuk

Popularitas kebaya menyebar hingga ke Semenanjung Malaya, di kawasan yang kini dihuni oleh warga Singapura dan Malaysia. Hal ini wajar belaka, mengingat kawasan Malaka yang berfungsi sebagai jalur perdagangan turut menjadi melting pot yang mempertemukan berbagai macam budaya. Di kawasan ini, jenis kebaya yang populer adalah Kebaya Nyonya yang lazim digunakan oleh para perempuan peranakan.

Menurut Yvonne Tan dalam tulisannya yang berjudul Nationalising Kebaya in the Nusantara, Kebaya Nyonya telah menjadi pakaian khas dari keturunan Tionghoa-Peranakan, dan kebaya sendiri merupakan simbol atas percampuran budaya Melayu, Tionghoa, dan India. Tan juga mengatakan bahwa sebagai pakaian tradisional, kebaya memiliki simbol yang sama bagi masyarakat Indonesia, Malaysia, dan Singapura   terlepas dari perbedaan modifikasi model kebaya di berbagai daerah tersebut.

Keberagaman jenis kebaya di berbagai wilayah Asia Tenggara menggambarkan bahwa budaya bukanlah sesuatu yang bersifat fixed, budaya terus berevolusi dan mengalami percampuran. Toh budaya berkebaya sendiri muncul pada saat hampir seluruh kawasan Asia Tenggara bersatu dalam Nusantara yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Suka tidak suka, Indonesia memiliki kesamaan masa lalu dengan para tetangganya, dan budaya yang saling beririsan ataupun bercampur adalah konsekuensi logis dari sejarah yang saling bertaut tersebut.

Maka dari itu, rasanya mustahil apabila sebuah budaya yang telah menyebar dan bercampur selama berabad-abad dibatasi melalui kepemilikan yang diklaim oleh satu negara saja. Terlepas dari mana asalnya kebaya, kita tidak seharusnya merasa berhak untuk melarang negara lain melestarikan budaya yang memiliki nilai historis bagi mereka. Namun karena Indonesia terlanjur mengeksklusifkan diri sebagai "pemilik" tunggal kebaya, negara kita pun absen dari nominasi multinasional yang diajukan oleh empat negara lain.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS