Dulu, sebelum ada layanan streaming, media massa menjadi satu-satunya kanal agar kita bisa diperkenalkan dengan karya-karya musisi lokal. Sayangnya, media massa seringkali hanya menampilkan musisi-musisi yang sudah memiliki popularitas. Nama-nama besar seperti Slank, Rossa, Nidji, kita pasti sudah tahu karena sering berseliweran di televisi. Tapi di luar nama-nama besar itu, ada banyak sekali musisi lokal lainnya yang tidak terepresentasikan. Dari skena musik independen, misalnya, ada banyak sekali band-band ciamik yang bisa diapresiasi. Salah satunya melalui Sounds from the Corner lah, akhirnya masyarakat luas bisa terekspos dengan musisi-musisi baru ini.
Sejak dibentuk tahun 2012, Sounds from the Corner telah menjadi kanal YouTube andalan bagi banyak penggemar musik. Pasalnya, lewat video-video yang disajikan Sounds from the Corner, mereka bisa menyaksikan aksi panggung musisi-musisi lokal. Mulai dari grup musik eksperimental seperti Senyawa hingga musisi pop tanah air seperti Padi dan Sheila on 7, Sounds from the Corner menyediakan dokumentasi lintas genre yang sangat beragam. Tak hanya itu, yang membuat sajian mereka diminati oleh penggemar musik adalah kualitas dokumentasi yang tinggi--baik dari segi visual maupun audio.
Tak hanya dokumentasi, Sounds from the Corner juga berupaya untuk menghidupkan pembahasan mengenai skena musik lokal melalui diskusi. Salah satu contohnya, Sounds from the Corner menjadi salah satu inisiator dari Archipelago Festival yang menghadirkan beragam panel diskusi mengenai musik. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pentingnya pengarsipan musik dan seluk beluk mengelola komunitas, CXO Media berbincang-bincang dengan Teguh Wicaksono, salah satu inisiator Sounds from the Corner.
Penampilan Padi Reborn./ Foto: Sounds from the Corner via YouTube |
Memberi Ruang Representasi Melalui Dokumentasi
10 tahun yang lalu, ada kalanya televisi didominasi oleh program variety show yang menyajikan musik sebagai tema utama dari acara. Beberapa acara tersebut di antaranya Dahsyat, Inbox, dan Hip Hip Hura. Selain memberi informasi mengenai musik populer terkini, mereka juga kerap mengundang para musisi yang merajai tangga lagu untuk tampil di acara tersebut. Dengan durasi mencapai dua jam, variety show ini mendapat banyak perhatian dari khalayak. Sayangnya, seiring dengan meningkatnya popularitas format acara ini, musik yang seharusnya menjadi sajian utama justru dikesampingkan demi hiburan.
Pada saat itu, Teguh dan partner-nya, Dimas, menyayangkan potensi musik Indonesia yang tidak terepresentasikan secara maksimal melalui variety show yang ada. Padahal, pada waktu itu ada banyak sekali band-band lokal baru yang memiliki potensi besar. Minimnya representasi akan musik lokal di media massa konvensional inilah yang melatarbelakangi terbentuknya Sounds from the Corner. "Gue waktu itu sama partner gue, Dimas, melihat fenomena itu menarik tapi sayang banget karena pilihan musisi yang ditampilkan di acara-acara itu terbatas banget. Lalu cara mereka merepresentasikan penampilan musiknya, menurut gue, mereka mengesampingkan sajian musiknya yang paling penting," ucap Teguh.
Sounds from the Corner dibentuk untuk satu misi, yaitu untuk mengarsipkan musisi-musisi lokal Indonesia. Maka dari itu, mereka mendokumentasikan pertunjukan musik dari emerging local acts dan mengunggahnya ke YouTube agar bisa dinikmati oleh siapa saja. Terkait band-band apa saja yang diarsipkan oleh Sounds from the Corner, Teguh mengaku hampir tak ada batasan dalam proses kurasi. Apa pun genre musiknya-baik dari arus utama maupun alternatif--selama mereka memiliki kualitas yang baik, akan memiliki kemungkinan untuk didokumentasikan oleh Sounds from the Corner. "Kita gak pernah punya satu standar tertentu sih, kalau band ini band yang bagus ya akan masuk SFTC," ucap Teguh.
Kolaborasi Efek Rumah Kaca dengan Barasuara./ Foto: Sounds from the Corner via YouTube |
Arsip Sounds from the Corner memang sangat beragam. Mulai dari musisi independen seperti Frau dan Sade Susanto hingga musisi besar tanah air seperti Noah dan Raisa, semuanya ada dalam arsip Sounds from the Corner. Proses kurasi yang cair ini secara tak langsung juga meleburkan sekat-sekat yang mungkin selama ini ada di skena musik. Teguh menceritakan pengalamannya 10 tahun yang lalu, ketika ia merasa skena musik lokal identik dengan circle pertemanan. "10 tahun yang lalu skena musik lokal isinya anak-anak sekolah seni yang memang artsy atau anak-anak yang baru pulang dari Amerika. Jadi ya geng-gengan banget lah waktu itu, mungkin sampai sekarang juga masih ada... Jadi 10 tahun yang lalu, gue sebagai bocah punya tendensi atau keinginan untuk me-debunked circle-circle ini," jelasnya.
Keinginan ini membuat Sounds from the Corner mampu membangun koleksi arsip yang beragam. Dengan hadirnya Sounds from the Corner, band-band lokal yang baru muncul pun memiliki kesempatan untuk diekspos ke khalayak yang lebih luas, terlepas dari apapun genrenya dan apapun latar belakangnya.
Melihat 10 Tahun ke Belakang, 50 Tahun ke Depan
Menginjak tahun kesepuluh berdirinya Sounds from the Corner, Teguh mengungkapkan apa saja perubahan-perubahan yang telah terjadi dan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang ada di masa depan. Meski pada mulanya SFTC berdiri sebagai komunitas tanpa tujuan komersial, pada prosesnya kesempatan bisnis mulai bermunculan. Ketika Sounds from the Corner didirikan, YouTube belum menjadi streaming platform raksasa yang kita kenal hari ini. Seiring dengan berkembangnya digital marketing dan monetisasi YouTube, Sounds from the Corner akhirnya bisa mengembangkan business model-nya sendiri. Hal ini muncul bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran dari para musisi lokal akan pentingnya dokumentasi digital.
Pun sekarang 10 tahun kemudian, meski Sounds from the Corner sudah berkembang menjadi entitas bisnis, misi awal mereka sebagai komunitas masih sama. Untuk menghadirkan informasi musik yang lebih mendalam bagi publik, pintu masuk yang digunakan SFTC kini tak hanya melalui dokumentasi saja. Salah satunya, mereka membuka ruang diskusi melalui Twitter Space yang dinamakan Gogon Mingguan. Istilah gogon alias 'gosip underground' memang sudah tak asing lagi di skena musik independen. Sesuai namanya, forum diskusi ini membahas fenomena-fenomena di industri musik secara santai. Beberapa topik yang pernah diangkat adalah royalti musik, NFT untuk musisi, hingga ruang ramah perempuan di skena musik lokal.
Tak hanya itu, pada tahun 2017 Sounds from the Corner berkolaborasi dengan kolektif musik Studiorama untuk menghadirkan Archipelago Festival-festival sekaligus konferensi musik pertama di Indonesia. Festival ini memperkenalkan musisi-musisi baru dan juga menggelar panel diskusi yang mencakup berbagai tema seputar infrastruktur musik di Indonesia. Mulai dari topik seputar label rekaman, music venue, pengarsipan musik, hingga bagaimana mengelola festival musik. Panel ini dihadiri oleh puluhan pembicara dari industri musik, mulai dari Guruh Soekarno Putra, Mondo Gascaro, Andin, hingga Ade Paloh. Kesuksesan Archipelago Festival membuktikan tekad yang dimiliki Sounds from the Corner untuk mewujudkan misi mereka, dengan memperkaya informasi dan menghidupkan diskusi mengenai skena musik lokal.
Panel Indonesian Pop Music di Archipelago Festival 2017./ Foto: Sounds from the Corner via YouTube |
Meski telah berhasil mengisi kekosongan dalam skena musik lokal melalui berbagai output, nyatanya konsistensi masih menjadi salah satu tantangan terberat bagi SFTC dalam berkarya. "Semua orang sekarang bisa bikin apa pun dan mudah banget. Tapi untuk maintain itu untuk jadi sesuatu yang punya karakteristik kuat dan bisa punya format yang repeatable dan sustainable, itu menurut gue susah banget tantangannya. Karena, kita gak mau end up jadi vendor atau jadi event organizer, misi kita tetep pengarsipan," ucap Teguh.
Meski anggotanya memiliki kesibukan masing-masing, Sounds from the Corner tetap berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam menghadirkan informasi musik yang relevan. Tak bisa dipungkiri, seiring dengan munculnya layanan streaming musik seperti Spotify dan Apple Music, siapapun kini bisa dengan mudah menjelajahi talent-talent baru tanpa bantuan media atau komunitas tertentu. Tapi, menurut Teguh, urgensi dari kehadiran SFTC justru lebih besar seiring dengan meledaknya musisi-musisi baru yang bermunculan di era digital ini. Meski demikian, SFTC tidak ingin menjadi gatekeeper karena selera musik adalah sesuatu yang sangat subjektif.
Menyambut ulang tahunnya yang ke-10 di bulan September nanti, SFTC memiliki keinginan untuk membuat sebuah showcase, meski masih dalam tahap penggodokan. Dengan pandemi yang mulai berangsur membaik ini, Sounds from the Corner juga sedang kembali aktif memproduksi live sessions. Beberapa video terbaru yang bisa disaksikan di kanal YouTube mereka adalah penampilan dari Grrrl Gang dan Perunggu. Masih ada banyak hal yang ingin diwujudkan oleh Sounds from the Corner. Salah satunya, Teguh memiliki keinginan agar SFTC bisa memiliki venue sendiri untuk mengakomodasi musisi-musisi yang mereka arsipkan.
Penampilan Grrrl Gang./ Foto: Sounds from the Corner via YouTube |
Ke depannya, Teguh mengatakan bahwa "Kalau kita fast forward 50 tahun lagi gue mau SFTC jadi the only platform yang secara kuantitas paling banyak pengarsipan musik dari Indonesia." Sounds from the Corner telah menjadi wadah bagi musisi-musisi lokal agar bisa merepresentasikan diri mereka. Hadirnya komunitas ini telah membuktikan betapa pentingnya kegiatan-kegiatan pengarsipan. Melalui pengarsipan, kita bisa menjelajahi skena musik lokal yang sangat beragam. Karena pada akhirnya, keberagaman dalam skena musik ini merupakan salah satu bentuk kekayaan Indonesia yang harus dijaga dan dilestarikan.
(ANL/MEL)