Interest | Art & Culture

Eksperimen Kami: Mencari Ayam Geprek Terenak di Jakarta

Kamis, 24 Mar 2022 12:00 WIB
Eksperimen Kami: Mencari Ayam Geprek Terenak di Jakarta
Foto: CXO Media
Jakarta -

Ayam Geprek telah menjadi hidangan kekinian yang digemari banyak orang, tak terkecuali warga Jakarta. Namun, tak banyak yang mengetahui bahwa Ayam Geprek pertama kali diciptakan oleh sosok bernama Bu Ruminah atau yang lebih populer dipanggil Bu Rum. Warung makan Ayam Geprek Bu Rum 1 yang berlokasi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah lokasi kelahiran hidangan ayam geprek.

Pada awalnya, Bu Rum hanya menjual lotek, soto, ayam goreng tepung, dan sayur. Hingga akhirnya, beberapa pembeli meminta Bu Rum untuk membuatkan Sambal Bawang. Karena sambalnya enak, banyak yang akhirnya meminta Bu Rum untuk mencampur ayam dan sambalnya dengan cara digeprek. Bisa dikatakan, ayam geprek telah menjadi hidangan khas Yogyakarta, karena banyaknya warung makan yang menjual ayam geprek. Sebab, kesuksesan Bu Rum mendorong kemunculan ayam geprek lainnya.

Beberapa yang terkenal adalah Ayam Geprek Bu Made, Ayam Geprek Pak Wage, Preksu (Ayam Geprek dan Susu), dan juga Dirty Chick yang sayangnya tutup tahun 2020. Meskipun namanya berbeda-beda tapi ayam geprek yang ditawarkan semuanya sejenis, yaitu ayam goreng tepung bertulang yang diulek bersama dengan sambal. Sambalnya pun juga sangat khas yaitu sambal bawang, atau sesekali ditambah terasi atau tomat jika ada pelanggan yang memintanya.

Rupanya, ketenaran ayam geprek sampai ke ibu kota. Beragam franchise ayam geprek pun bermunculan di Jakarta, seperti Geprek Bensu dan Ayam Keprabon. Masalahnya, menurut teman-teman saya yang memang orang Yogyakarta, ayam geprek yang dijual di Jakarta bukanlah ayam geprek. Menurut mereka, ayam geprek versi ibu kota adalah "ayam oles sambal", ayam goreng tepung yang diberi sedikit olesan sambal di atasnya dan tidak digeprek sampai hancur.

Saya pun yang telah 4 tahun kuliah di Yogyakarta juga kesulitan menemukan ayam geprek yang enak dan layak disebut ayam geprek. Bahkan beberapa kali persoalan ayam geprek ini memicu serangkaian perdebatan di media sosial. Lantas, benarkah Jakarta krisis ayam geprek? Saya pun bertekad untuk mencari kebenarannya. Berbekal rekomendasi dari orang-orang sekitar, berikut adalah pengalaman saya menjajaki berbagai ayam geprek di Jakarta.

Ayam Koplo by Hangry

Ayam geprek pertama yang saya coba adalah Ayam Koplo dari Hangry. Saya memesan Nasi Wangi Geprek Original Level 3. Dari segi rasa, saya cukup bingung bagaimana menempatkan Ayam Koplo ini. Ayamnya sendiri tidak terasa seperti ayam goreng tepung pada umumnya, ada rasa gurih dan manis. Selain itu, karena ayam yang digunakan adalah ayam tanpa tulang yang dihancurkan, tekstur dari daging ayamnya kurang terasa. Ayamnya pun sudah dicampur dengan telur orak-arik dan dilengkapi dengan bumbu serundeng. Ditambah dengan nasinya yang terasa seperti nasi uduk, secara keseluruhan rasanya terlalu gurih. Agak sulit untuk membedakan mana rasa yang datang dari ayam gepreknya dan mana yang datang dari nasinya. Secara keseluruhan, saya belum menemukan yang spesial dari segi rasa. Ditambah lagi, bentuknya lebih mirip ayam suwir ketimbang ayam geprek.

Nilai: 5/10

.Ayam Koplo./ Foto: Anastasya Lavenia

Ayam Geybok

Berikutnya, saya mencoba Ayam Geybok. Saya memesan Paket Ayam Blonde yang terdiri dari nasi, ayam geprek, keju mozarella, dan kobis goreng. Secara konsep, Ayam Geybok mirip seperti Ayam Gepuk Pak Gembus karena menggunakan sambal kacang. Secara rasa, Ayam Geybok melebihi ekspektasi saya. Gurihnya pas, pedasnya benar-benar terasa, dan keju mozarella-nya juga melimpah.

Selain itu, rasa cabai dari sambalnya tetap terasa dan tidak tertutupi oleh kacangnya. Ayamnya juga tidak disuwir, sehingga tekstur dagingnya masih terasa. Sayangnya, Ayam Geybok mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai ayam geprek. Pertama, ia menggunakan ayam goreng biasa dan bukan ayam goreng tepung. Kedua, ia menggunakan sambal kacang dan bukan sambal bawang. Mungkin ia bisa dikatakan sebagai varian lain dari ayam geprek, tapi jelas ia bukan ayam geprek khas Yogyakarta yang saya cari-cari.

Nilai: 7/10

.Ayam Geybok./ Foto: Anastasya Lavenia

Gold Chick

Setelah dikecewakan oleh Ayam Koplo dan sedikit dibuat gembira oleh Ayam Geybok, saya mencicipi ayam geprek berikutnya dari Gold Chick. Saya memesan ayam geprek dengan sambal original Level 4. Sejauh ini, ini adalah ayam geprek yang paling mendekati ayam geprek yang saya cari-cari. Ayamnya digoreng tepung, dan menggunakan ayam tulang. Ayamnya sendiri cukup enak, kulitnya garing dan dagingnya masih juicy. Sambalnya sendiri juga cukup enak, dibandingkan dengan kedua ayam geprek sebelumnya di sini cabainya cukup melimpah dan sedikit berminyak.

Hanya saja, dia belum digeprek sampai hancur. Sambalnya juga tidak sepenuhnya bercampur dengan daging ayamnya. Sebagai perbandingan, ayam geprek khas Yogyakarta akan diulek sampai daging-dagingnya terlepas dari tulangnya namun tidak hancur berkeping-keping seperti ayam suwir. Sedangkan ayam Gold Chick sepertinya hanya digeprek sekali sehingga masih berbentuk seperti potongan awalnya. Tapi ini tidak mengurangi rasa hormat saya karena Gold Chick tetap menggunakan ayam tulang dan ini membuat saya gembira.

Nilai: 6.9/10

.Gold Chick./ Foto: Anastasya Lavenia


Geprek Bensu

Setelah mencoba ayam geprek yang lumayan nice, saya kemudian memutuskan untuk mencoba ayam geprek terpopuler seantero ibukota. Ia tidak lain tidak bukan adalah Geprek Bensu yang kemarin baru saja ramai diperbincangkan karena menggelar pagelaran busana di saat Paris Fashion Week berlangsung. Sebenarnya, saya cukup skeptis karena teman-teman saya mengatakan Geprek Bensu tidak layak menyandang predikat sebagai ayam geprek. Namun, saya memutuskan untuk tetap berlaku adil dan mencobanya.

Ketika ayam yang saya pesan datang, saya pun terdiam sejenak. Saya merasa kecewa, karena yang tersajikan di depan saya bukanlah ayam geprek. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang, ini adalah "ayam oles sambal". Ayam goreng tepungnya terlihat masih utuh, seperti tidak digeprek sama sekali. Sambalnya pun sangat sedikit kira-kira sebanyak dua sendok teh, meski saya memesan level 3.

Ditambah lagi, sambalnya hanya ditaruh di atas dan tidak dicampur dengan ayamnya. Secara konsep, Geprek Bensu kalah telak. Meski demikian, ayamnya sendiri memiliki rasa yang enak dan kulit yang renyah, tidak kalah dengan ayam goreng tepung dari gerai ayam cepat saji ternama. Sayangnya, hal ini menjadi tidak bisa menutupi kekecewaan saya.

Nilai: 6/10

.Geprek Bensu./ Foto: Anastasya Lavenia

Keprabon Express

Setelah dibuat kecewa, ayam geprek terakhir yang saya coba ini menumbuhkan secercah harapan. Sebab, banyak orang yang merekomendasikannya sebagai salah satu ayam geprek yang bisa disandingkan dengan ayam geprek khas Yogyakarta. Namun ketika pesanan saya datang, lagi-lagi saya dibuat kecewa. Sama seperti Ayam Koplo, ayam geprek ala Keprabon disajikan dalam bentuk rice bowl dan menggunakan daging tanpa tulang. Ayamnya menggunakan ayam tanpa tulang dan sambalnya kurang terasa. Lagi-lagi, ini lebih menyerupai ayam suwir ketimbang ayam geprek. Selain itu, kulit ayamnya tidak renyah dan dagingnya agak kering. Secara keseluruhan, ayam geprek ini terasa polos dan underwhelming.

Nilai: 5.5/10

.Keprabon Express./ Foto: Anastasya Lavenia

Setelah mencoba berbagai ayam geprek, saya sebenarnya meragukan konsep ayam geprek yang dijual di Jakarta. Mungkin bagi banyak orang ini bukanlah hal yang penting, karena pada akhirnya yang penting adalah rasa. Namun, bagi masyarakat Yogyakarta dan mereka yang bukan orang Yogyakarta tapi pernah mencicipi Ayam Geprek Bu Rum atau Ayam Geprek Bu Made, ini adalah suatu permasalahan serius.

Sah-sah saja apabila sebuah makanan khas ingin direplikasi di kota-kota besar, tapi setidaknya alangkah baiknya apabila ia dimasak dan disajikan sesuai dengan hidangan aslinya. Meski ayam geprek yang saya coba tidak dapat dianggap mewakili ayam geprek seantero ibu kota, percobaan ini membuktikan skeptisisme saya terhadap ayam geprek di Jakarta.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS