Interest | Art & Culture

"Lagu untuk Anakku", Saksi Bisu Perlawanan Dialita pada G30S

Sabtu, 19 Mar 2022 16:00 WIB
Foto: Dialita Choir
Jakarta -

Bagi banyak orang, peristiwa yang terjadi pada 30 September tahun 1965 masih diselimuti misteri. Tapi tidak demikian bagi anggota Paduan Suara Dialita. Bagi mereka, apa yang terjadi tahun 1965 adalah masa kelam yang masih menyisakan trauma mendalam. Dibentuk tahun 2011, Dialita merupakan paduan suara beranggotakan para perempuan yang pernah menjadi tahanan politik atau keluarganya menjadi tahanan politik ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) diberantas. Bagi anggota Dialita, menciptakan musik dan bernyanyi adalah cara mereka untuk bertahan. Inilah yang diangkat ke dalam film dokumenter berjudul Lagu Untuk Anakku.

Di sini, para anggota Dialita membagikan kisah mereka kepada musisi muda Junior Soemantri dan Bonita. Salah satu anggota Dialita yang bernama Nasti, menceritakan kembali apa yang dialaminya. "(Tahun) 65 itu adalah kehancuran bagi cita-cita kami sekeluarga," ucap Nasti di awal film. Ibunya dibawa oleh tentara ketika rumah mereka ketahuan memberi perlindungan bagi mahasiswa Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia. Pada masa itu, perempuan muda yang orang tuanya ditangkap terancam mendapat kekerasan dari aparat. Karena takut, pada masa itu Nasti yang masih berusia 18 belas tahun terpaksa pergi meninggalkan adik-adiknya.

.Poster Dokumenter Lagu Untuk Anakku./ Foto: Dialita Choir

Sementara itu, anggota Dialita lainnya yaitu Heryani, bercerita tentang masa-masa ketika ia ditangkap dan ditahan di Kamp Ambarawa, Jawa Tengah. Suami Heryani, Busono Wiwoho adalah Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus bagian dari Himpunan Sarjana Indonesia. Pada waktu itu, peran Busono Wiwoho sebagai akademisi yang progresif juga menyebabkan dirinya ditangkap.

Di Kamp Ambarawa lah, Heryani bersama dengan Mayor Djuwito menciptakan Lagu Untuk Anakku. Lagu yang diciptakan sebagai bentuk kegelisahan atas nasib ratusan ribu anak Indonesia yang tiba-tiba harus kehilangan orang tuanya karena peristiwa penangkapan dan pembunuhan yang terjadi. Selain mendengar kisah mereka, di film ini kita juga bisa menyaksikan lagu-lagu Dialita yang dibawakan ulang oleh musisi-musisi muda seperti Junior Soemantri, Bonita, dan Endah Widiastuti. Di sini kita bisa melihat bagaimana Paduan Suara Dialita menginspirasi musisi-musisi dan juga memperkenalkan sejarah kepada generasi muda.

Mendengar dan melihat Dialita bernyanyi adalah pengalaman yang emosional, setidaknya itulah yang saya rasakan ketika menonton dokumenter ini. Di satu sisi, lagu-lagu Dialita memiliki nilai sejarah yang bisa menjadi referensi bagi para pendengarnya. Namun di sisi lain, lagu-lagu mereka juga sangat personal.

.Lagu Untuk Anakku./ Foto: Negeri Films

Pada akhirnya, tak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan apa yang dirasakan setelah menonton Lagu Untuk Anakku. Sebab perasaan itu hanya bisa tergambarkan melalui lagu-lagu yang dibawakan oleh Dialita sendiri. Salah satunya, melalui Lagu Untuk Anakku yang diciptakan di Kamp Ambarawa oleh Heryani dan Mayor Djuwito. Liriknya berbunyi:

Lihatlah pagi cerah dunia, anakku
Lihatlah mawar merah merekah, sayangku
Secerah pagi indah hari depanmu
Semerah mawar rekah harapanku
Duka derita kubawa setia
Cinta dan cita lahirlah semua
Menyinari hari mendatang, sayangku
Jadilah putra harapan bangsamu

Hingga saat ini, mungkin bagi kebanyakan orang sulit rasanya untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965. Tapi bagi mereka yang mengalaminya peristiwa 1965 secara langsung, luka dan trauma itu nyata adanya. Di tangan Dialita, musik menjadi alat untuk melawan dan bertahan hidup. Lagu Untuk Anakku adalah film yang amat penting, tak hanya bagi mereka para penyintas kekerasan '65, tapi juga bagi kita para generasi muda. Jangan sampai sejarah ini berhenti di generasi sebelumnya!

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS